Kamis, 12 Desember 2013

نظرية المحاكة / Teori sastra Mimesis

 Teori Mimesis ( Plato dan Aristoteles)

Plato, dengan teori mimesisnya dianggap sebagai pelopor teori sosial sastra (Damono, 1979:16). Kata mimetik berasal dari kata mimesis (bahasa Yunani) yang berarti tiruan. Teori mimetik menganggap karya sastra sebagai  tiruan alam atau kehidupan (Abrams, 1981).

Menurut pandangan Plato, segala yang ada di dunia ini sebenarnya hanya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan. Dalam dunia gagasan, ada gagasan mengenai manusia, semua manusia yang ada di dunia ini (manusia nyata) adalah tiruan dari manusia yang ada di dunia gagasan tersebut. Demikian juga benda-benda yang ada di dunia: bunga, pohon, meja, kursi, dan lain sebagainya diangap sebagai tiruan dari  dunia gagasan mengenai hal-hal tersebut. Maka, ketika seorang penyair kemudian menggambarkan mengenai pohon dalam puisinya, misalnya, dia hanyalah menggambarkan tiruan dari sebuah tiruan. Oleh karenanya, puisi atau sajak yang dihasilkannya tidak  lain hanyalah tiruan dari barang tiruan (Damono, 1979:16).

Pandangan Plato tersebut tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan pendirian filsafatnya mengenai kenyataan, yang bersifat hirarki (Teeuw, 1988:220). Menurut Plato ada beberapa tataran  tentang Ada, yang masing-masing mencoba melahirkan nilai-nilai yang mengatasi tatanannya. Yang nyata secara mutlak hanya yang Baik, dan derajat kenyataan semesta tergantung pada derajat kedekatannya terhadap Ada yang abadi (Verdinius, via  Teeuw, 1988:220). Dunia empirik tidak mewakili kenyataan yang sungguh-sungguh, hanya dapat mendekatinya lewat mimesis, peneladanan atau pembayangan atau peniruan. Misalnya, pikiran dan nalar kita meneladani kenyataan, kata meniru benda, bunyi meniru keselarasan IIlahi, waktu meniru keabadian, hukum-hukum meniru Kebenaran, pemerintah manusia meniru pemerintah ideal, manusia yang saleh meniru dewa-dewa, dan seterusnya (Teeuw, 1988:220). Dalam rangka ini, menurut Plato, mimesis atau sarana artistik tidak mungkin mengacu langsung pada nilai-nilai yang ideal, karena seni terpisah dari tataran Ada yang sungguh-sungguh oleh derajat dunia kenyataan yang fenomenal. Seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak, berdiri di bawah kenyataan itu sendiri yang hirarki (Teeuw, 1988:220).

Walaupun Plato cenderung merendahkan nilai karya sastra, yang hanya dipandang sebagai tiruan dari tiruan, namun  dalam pandangannya tersebut tersirat adanya hubungan antara karya sastra dengan masyarakat (kenyataan). Apa yang tergambar dalam karya sastra, memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi dalam masyarakat.

Hubungan antara sastra dengan masyarakat selanjutnya dirumuskan kembali oleh Aristoteles, dengan teori kreasi. Berbeda dengan Plato yang memandang sastra sebagai tiruan kenyataan, Aristoteles (via Luxemburg dkk, 1984) memandang mimesis yang dilakukan para seniman tidak berarti semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan merupakan sebuah proses kreatif. Sambil bertitik pangkal pada kenyataan, seniman (penyair) menciptakan kembali kenyataan. Seniman mencipta dunianya sendiri dengan probability yang memaksa, dengan ketakrelaannya. Apa yang terjadi dalam ciptaan seniman masuk akal dalam keseluruhan dunia ciptaan itu dan sekaligus,  karena dunia itu merupakan kontraksi, perpaduan yang berdasarkan unsur-unsur dunia nyata.

Karena seniman (penyair) menciptakan kembali kenyataan, maka menurut Aristoteles, nilai karya seniman lebih tinggi dari karya seorang tukang. Dalam karya seorang seniman pandangan, vision, penafsiran kenyataanlah yang dominan dan kepandaiannya diabadikan pada interpretasi, pemberian makna pada eksistensi manusia (Teeuw, 1988:222). Berbeda dengan Plato yang cenderung merendahkan karya seni dalam hubungannya kenyataan, Aristoteles memberikan penghargaan yang tinggi terhadap karya seni. Menurutnya karya seni, menjadi sarana pengetahuan yang khas, cara yang unik untuk membayangkan pemahaman tentang aspek atau tahap situasi manusia yang tidak dapat diungkapkan dan dikomunikasikan dengan jalan lain (Teeuw, 1988:222).
Dalam sosiologi sastra teori Plato dan Aristoteles dianggap mendasari kajian sosiologi karya sastra, yang  membahas ”kenyataan” yang terdapat dalam karya sastra dalam hubungannya dengan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat dan menganggap sastra sebagai sarana untuk mencatat dokumen sosial historis masyarakat. Dalam kajian sosiologi sastra yang awal, hubungan antara karya sastra dengan kenyataan, sering kali dipahami dalam hubungan  yang bersifat langsung, tanpa mengingat hakikat sastra sebagai karya estetik yang diciptakan pengarang, dengan berbagai latar belakang dan notivasi yang kesemuanya akan ikut berperanan dalam membentuk ”realitas” yang tergambar dalam karya sastra


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENCIPTAKAN KELAS KONDUSIF DENGAN ANAK YANG HIPERAKTIF

Nurul Azizah nama saya, saya seorang guru yang mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam kelas 1 di sebuah sekolah dasar swasta di Kota...