PEMBAHASAN
A.
Pengertian Empirisme
Kata empirisme berasal dari kata
yunani, emperia, yang berarti
pengalaman inderawi[1].
Oleh karena itu aliran ini berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang
menjadi sumber pengetahuan, baik pengalaman yang batiniah maupun pengalaman
yang lahiriah. Akal bukan jadi sumber pengetahuan tetapi akal mendapat tugas
untuk mengolah bahan-bahan yang di
peroleh dari pengalaman[2].
Aliran ini memandang bahwa fisafat itu tidak ada gunanya bagi kehidupan,
sedangkan yang berguna adalah ilmu yang di peroleh dari pengalaman, karena
memang hanya pengetahuan inilah yang pasti benar[3].
Empirisme adalah suatu doktrin yang
menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan
itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal.
Sebagai suatu dotrin, emperisme adalah
lawan daripada rasionalisme. Untuk memahami doktrin ini perlu dipahami lebih
dahulu dua ciri pokok empirisme, yaitu mengenai teori tentang makna dan teori
tentang pengetahuan[4].
Teori
pertama yaitu Teori makna, pada aliran
empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal ilmu pengetahuan,
yaitu asal usul idea atau konsep. Pada abad pertengahan teori ini diringkaskan
dalam rumus nihil est in intellectu quod
non prius fuerit in sensu (tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain
di dahului oleh pengalaman). sebenarnya pernyataan ini adalah pernyataan Tesis
Locke yang terdapat di dalam bukunya An
essay concerning human understanding, yang diterbitkannya tatkala ia
menentang ajaran idea bawaan (innate idea) pada orang-orang
rasionalis. Jiwa itu, tatkala orang dilahirkan, keadaannya kosong, laksana
kertas putih atau tabula rasa, yang belum ada tulisan diatasnya, dan setiap
idea yang diperolehnya mestilah datang dari pengalaman, yang dimaksud
pengalaman disini ialah pengalaman inderawi.
Pada abad ke 20 kaum empiris
cenderung menggunakan teori makna, filsafat empirisme tentang teori makkjna
amat berdekatan dengan aliran positifisme logis dan filsafat Ludwig
Wittgenstein, akan tetapi, teori makna dan empirisme selalu harus dipahami
lewat pengalaman. Oleh karena itu bagi orang empiris jiwa dapat di pahami sebagai
gelombang pengalaman kesadaran, materi sebagai pola (pattern) jumlah yang dapat
diindera, dan hubungan kausalitas sebagai urutan peristiwa yang sama.
Teori
kedua yaitu teori pengetahuan, mengenai teori
ini kaum empiris berbeda pendapat dengan kaum rasionalis. Kaum rasionalis
berpendapat bahwa ada beberapa kebenaran umum seperti “ setiap kejadian tentu
mempunyai sebab”, dasar-dasar matematika, dan beberapa prinsip dasar etika, dan
kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah
kebenaran a priori yang diperoleh lewat intuisi rasional itu. Kaum empiris
menolak pendapat tersebut, menurul kaum empiris tidak ada intuisi rasioanl itu.
Semua kebenaran yang disebut tadi adalah kebenaran yang diperoleh lewat
observasi, jadi ia kebenaran a posteriori.
B.
Tokoh-tokoh Empirisme
1.
Francis Bacon (1210-1292)
Dari
mudanya Bacon sudah mempunyai minat terhadap filsafat. Akan tetapi waktu dewasa
ia menjabat pangkat-pangkat yang tinggi di kerajaan inggris. Kemudian ia diangkat
menjadi golongan bangsawan. Setelah ia berhenti dari jabatannya barulah ia
mulai menuliskan filsafatnya.
Sebagai
penjabat yang tinggi ia tidak terlalu mengutamakan kebenaran, yang paling
penting baginya adalah gunanya. Apakah guna pengetahuan, jika tidak bermanfaat?
Bukanlah renungan yang ada melainkan fakta! Bukan yang abstrak-abstrak, hasil
renungan yang ada, melainkan fakta di dunia ini. Dari itu pengetahuan yang
sebenarnya tentu saja pengetahuan yang di terima orang melalui persentuhan
inderanya dengan dunia fakta alam. Pengalamanlah sumber pengetahuan yang
sejati.
Dengan
demikian bagi BACON cara mencapai pengetahuan itupun segera nampak dengan
jelasnya. Haruslah pengetahuan itu di capai dengan mempergunakan induksi. Kami sudah
terlalu lama, demikian BACON terpengaruhi oleh sistem dedukatif. Dari
dogma-dogma di ambil kesimpulan, itu tidak benar. Haruslah kita sekarang
memperhatikan yang kongkrit, mengumpulkan mengadakan kelompok-kelompok, itulah
tugas pengetahuan dan ilmu.
Dalam
hidup ini orang masih juga mempergunakan hal-hal yang mutlak, masih
mempergunakan agama, bahasa. Tetapi sebetulnya itu kekeliruan belaka, khayal.
BACON mempergunakan istilah idol, ( yunani eidola – khayal, kekeliruan, hantu).
Demikian BACON membuka pintu gerbang yang luas bagi empirisme[5].
2.
Thomas Hobbes (1588-1679)
Tokoh
ini di lahirkan sebelum waktunya ketika ibunya tercekam rasa takut oleh ancaman
penyerbuan armada Spanyol ke Inggris, Hobbes merupakan anak seorang pendeta[6].
Ia belajar di universitas Oxford , kemudian menjadi pengajar pada suatu
keluarga yang terpandang. Hubungan dengan keluarga tersebut memberi kesempatan
kepadanya untuk membaca buku-buku, bepergian ke Negeri asing dan berjumpa
dengan tokoh-tokoh penting. Simpatinya pada sistem kerajaan mendorongnya untuk
lari ke prancis pada waktu Inggris dilanda perang saudara. Di sanalah ia
mengenal filsafat Descartes dan pemikir-pemikir Prancis lainnya. Karena sangat
terkesan dengan dengan kesempatan sains, ia berusaha menciptakan filsafat atas
dasar matematika.
Hobbes
menolak tradisi skolastik dalam filsafat dan berusaha menerapkan konsep-konsep
mekanik dari alam fisika kepada pikirannya tentang, manusia dan kehidupan
mental. Hal ini mendorong untuk menerima, meterialisme, mekanisme, dan
determinisme. Karya utamanya dalam filsafat adalah leviathan (1651),
mengekspresikan pandangan tentang hubungan antara alam, manusia dan masyarakat.
Hobbes melukiskan manusia-manusia ketika
mereka hidup di alam keadaan yang ia namakan nature ( keadaan alamiah)
yang merupakan kondisi manusia sebelum di cetuskannya suatu Negara atau
masyarakat beradab. Kehidupan dalam masa alamiah adalah buas dan singkat,
karena merupakan perjuangan dan peperangan yang terus menerus. Oleh karena
manusia mengiginkan kelangsungan hidup dan perdamaian, ia mengalihkan
kemauannya pada kemauan Negara dalam bentuk kontrak sosial yang membenarkan
kekuasaan tertinggi yang mutlak.
Sebagaimana
umumnya penganut empirisme, Hobbes beranggapan bahwa pengalaman merupakan
permulaan segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lain daripada semacam
perhitungan, dari penggabungan data-data inderawi yang sama dengan cara
berlainan. Tentang dunia dan manusia, ia dapat dikatakan sebagai penganut
materialistis. Karena itu ajaran Hobbes merupakan sistem materialistis yang
pertama dalam sejarah modern. Berbeda dengan Francis Bacon yang meletakkan
eksperimen-eksperimen sebagai metode penelitian, Hobbes memandangnya sebagai
doktrin.
Hobbes
juga tidak menyetujui pandangan Descartes tentang jiwa sebagai substansi
rohani. Menurut Hobbes, seluruh dunia termasuk juga manusia, merupakan suatu
proses yang berlangsung dengan tiada henti-hentinya atas dasar hukum-hukum mekanisme saja, adapun
ajaran Hobbes yang termasyhur adalah pendapatnya tentang filsafat politik. Ia
mengingkari bahwa manusia menurut kodratnya adalah makhluk sosial. Satu-satunya
kecondongan kodrati manusia adalah mempertahankan adanya. Hal tersebut
mengakibatkan adanya egoisme radikal:
homo-homis lupus (manusia adalah manusia bagi manusia). Tetapi dalam
keadaan demikian, manusia justru tidak mampu mempertahankan adanya. Itulah
sebabnya manusia mengadakan perjanjian, yaitu mereka akan takluk kepada satu
kewibawaan. Dengan demikian, negarapun timbul, tetapi setelah Negara itu
timbul, perjanjian itu tidak lagi di cabut, sehingga dengan demikian Negara
mempunyai kekuasaan yang absolute terhadap warga Negara.
Filsafat
Hobbes mewujudkan suatu sistem yang lengkap mengenai keterangan yang lengkap
tentang “yang ada” secara mekanis. Dengan demikian ia merupakan seorang
materialistis dibidang tentang ajaran antropolog, serta seorang absolutis di
bidang ajaran tentang Negara.
·
Filsafat
Materialisme
Hobbes
juga menganut filsafat materialisme. Materialisme yang dianut Hobbes adalah:
segala sesuatu yang bersifat bendawi. Yang dimaksud bendawi adalah segala sesuatu
tidak bergantung kepada gagasan kita. Doktrin atau ajarannya menyatakan bahwa
segala kejadian adalah gerak, yang berlangsung karna keharusan. Realitas segala
yang bersifat bendawi, yaitu tidak bergantung kepada gagasan kita, terhisap di
alam gerak itu. Dengan demikian maka pengertian substansi di ubah menjadi suatu
teori aktualitas. Segala objektivitas di dunia luar bersandar kepada suatu proses tanpa pendukung yang berdiri
sendiri. Ruangan tau kekuasaan tidak memiliki “ada” sendiri. Ruang adalah
gagasan tentang hal yang berada itu sendiri. Waktu adalah gagasan tentang
gerak. Berdasarkan pandangannya itulah ia melahirkan filsafatnya tentang
manusia.
·
Manusia
Menurut
Hobbes manusia tidak lebih daripada suatu bagian alam bendawi yang
mengelilinginya. Maka segala sesuatu yang terjadi pada diri manusiapun dapat di
terangkan seperti cara-cara yang terjadi pada kejadian-kejadian alamiah, yaitu
secara mekanis. Manusia itu hidup selama beredar darahnya dan jantungnya bekerja,
yang di sebabkan karena pengaruh mekanis dari hawa atmosfir. Dengan demikian,
manusia yang hidup tiada lain adalah gerak anggota-anggota tubuhnya. (tentu
saja pendapat seperti ini jika di bandingkan dengan islam amat bertentangan
karena manusia itu walaupun secara fisik [mekanis] telah mati namun jiwanya
tetap hidup. Bahkan seorang mukmin kematian adalah kelanjutan hidup yang kekal
dan abadi).
·
Jiwa
Ajaran
Hobbes tentang jiwa itupun sejalan dengan ajaran filsafat dasar, sehingga jiwa
baginya merupakan kompleks dari proses-proses mekanis di dalam tubuh. Akal
bukanlah pembawaan, melainkan hasil perkembangan karena kerajinan.ikhtiar adalah
suatu awal gerak yang kecil. Awal gerak nan kecil ini kalau diarahkan untuk
menuju kepada sesuatu di sebut dengan keinginan yang sama dengan kasih, jika
diarahkan untuk meninggalkan sesuatu di sebut keengganan atau keseganan yang
sama dengan keinginan dan keengganan, tetapi hal yang sama dengan itu. Namun
demikian yang tekuat adalah jikalau yang terjadi bentrokan. Oleh sebab itu,
Hobbes merupakan orang yang tidak mengakui kehendak bebas.
·
Teori
Pengenalan dan pengalaman
Sebagai
penganut empirisme, pengenalan atau pengalaman. Pengenalan adalah awal daripada
pengalaman. Pengalaman awal dari pada segala
pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang di peroleh dan
diteguhkan oleh pengalaman. Dengan demikian hanya pengalamanlah yang memberi
kepastian. Berbeda dengan kaum rasionalis, Hobbes memandang bahwa pengenalan
dengan akal hanyalah mempunyai fungsi mekanis semata-mata. Karena pengalaman
dengan akal mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan. Pengenalan
dengan akal mulai dengan kata-kata (pengertian-pengertian yang hanya mewujudkan tanda-tanda yang menurut adat saja
dan yang menjadikan ruh manusia dapat memiliki gambaran dari hal-hal yang di
ucapkan dengan kata-kata. Pengertian-pengertian umum hanyalah nama belaka,
yaitu nama-nama bagi gambaran-gambaran ingatan tersebut, bukan nama bendanya,
nama-nama itu tidaklah mempunyai nilai-nilai objektif. Pendapat atau
pertimbangan adalah penggabungan antara dua nama, sedangkan silogisme adalah
suatu soal hitung, dimana orang bekerja dengan tiga nama.
Yang
di maksud dengan pengalaman ialah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang
disimpan di dalam ingatan atau digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa
depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lalu.
Pengamatan
inderawi terjadi karena gerak benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu
gerak didalam indera kita. Gerak ini diteruskan ke otak dan dari otak ke jantung. Di dalam jantung
timbullah reaksi suatu gerak dalam jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang
sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi.
Sasaran
yang diamati adalah sifat-sifat inderawi. Penginderaan di sebabkan karena
tekanan objek atau sasaran. Kualitas di dalam objek-objek, yang sesuai dengan
penginderaan kita, bergerak menekan indera kita. Warna yang kita lihat, suara
yang kita dengar bukan berada dalam gambaran tentang sebab yang menimbulkan
penginderaan. Ingatan rasa senang dan tidak senang dan segala gejala jiwani,
bersandar semata-mata pada asosiasi gambaran-gambaran murni yang bersifat
mekanis.
Untuk
mempertegas pandangannya, Hobbes tampak sekali sebagai penganut nominalisme,
dimana ia menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang universal, kecuali nama
belaka. Konsekuensi pendapat ini adalah bahwa ide dapat di gambarkan melalui
kata-kata. Dengan kata lain, tanpa kata-kata ide tidak dapat di gambarkan.
Tanpa bahasa tidak ada kebenaran atau kebohongan. Sebab apa yang dikatakan
“benar” atau “tidak benar” itu hanya sekedar sifat saja dari kata-kata. Setiap
benda diberi nama dan membuat ciri atau identitas-identitas di dalam bentuk
pikiran orang[7].
3.
John Locke (1632-1704)
Locke
adalah anak seorang ahli hukum, ia menyukai teologi dan filsafat tetapi ia juga
belajar ilmu kedokteran dan penyelidikan kimia[8].
Locke termasuk orang yang mengagumi Descartes, tetapi ia tidak menyetujui
ajaran Descartes. Bagi Locke mula-mula rasio manusia harus di anggap sebagai
“lembaran kertas putih” (as a white paper) dan seluruh isinya berasal dari
pengalaman. Bagi locke, pengalaman ada dua : pengalama lahiriah (sensation) dan
pengalaman batiniah (reflection). Kedua sumber pengalaman ini menghasilkan
ide-ide tunggal (simple ideas). Ruh manusia bersifat sama sekali pasif dalam
menerima ide-ide tersebut. Namun demikian, ruh mempunyai aktivitas juga, karena
dengan menggunakan ide-ide tunggal sebagai batu bangunan, ruh manusiawi dapat
membentuk ide majemuk (complex ideas), misalnya idea substansi. Locke kemudian
menyatakan dalam dunia luar memang ada substansi, tetapi tidak hanya mengenal ciri-cirinya
saja.
Pandangan locke mengenai lembaran
putih manusia mirip sekali dengan teori fitrah dalam filsafat islam yang di
dasarkan atas pernyataan Al-qur’an, surah ke-30 Ar-rum ayat ke 30. fitrah
adalah bawaan manusia sejak lahir yang didalamnya terkandung tiga potensi
dengan fungsinya masing-masing.
·
Pertama,
potensi ‘aql yang berfungsi untuk mengenal Tuhan, mengesakan Tuhan, dan
mencintai-Nya.
·
Kedua,
potensi syahwat yang berfungsi untuk menginduksi objek-objek yang menerangkan.
·
Ketiga,
potensi gadlab yang berfungsi untuk menghindari segala hal yang membahayakan.
Ketika
manusia dilahirkan ketiga potensi ini telah dimilkinya. Namun demikian, agar
potensi-potensi tersebut beraktualisasi perlu ada bantuan dari luar dirinya.
Dalam filsafat islam, kedua orang tua anak yang terlahir itulah yang
pertama-tama berkewajiban memberikan pengetahuan untuk mengaktualisasikan
potensi-potensi tersebut. Dengan kata lain orang tualah yang menggoreskan
tulisan di atas lembaran putih si anak yang terlahir itu[9].
4.
George Berkeley (1665-1753)
Berkeley
yang lahir di Irlandia ini menjadi Uskup Anglikan di Cloyne (Irlandia). Sebagai
penganut empirisme, Brekeley mencanangkan teori yang dinamakan immaterialisme
atas dasar prinsip-prinsip empirisme.
Jika Locke masih menerima substansi-substansi diluar kita, maka Brekeley
berpendapat bahwa sama sekali tidak ada substansi-substansi material, yang ada
hanyalah pengalaman dalam ruh saja. Esse
estpercipi (being is being perceived),
yang artinya, dalam dunia material sama saja dengan ide-ide yang saya
alami. Sebagaimana dalam bioskop,
gambar-gambar film pada layar putih dilihat para penonton sebagai benda-benda
yang riil dan hidup. Demikian pula,
menurut pemikiran brekeley, ide-ide membuat saya melihat suatu dunia
material. Dan bagaimana saya sendiri?
Berkeley mengakui bahwa aku merupakan suatu substansi ruhani. Ia juga mengakui adanya Allah, sebab Allahlah
yang merupakan asal-usul ide-ide yang saya lihat. Jika kita memberikan pengetahuan di mana
cinta juga mempunyai peranan. Dengan
rasio kita mempelajari ilmu pasti dan ilmu alam, tetapi dengan hati kita
mencapai kebenaran-kebenaran yang lebih tinggi, terutama Tuhan Allah. Dengan semboyannya berikut ini, yang membawa
kemasyhurannya kita dengan mudah mengingat dasar pemikiran filsafatnya, le Coeur Anaximenes ses raisons que la
raison ne connait point, yang diartikan dalam bahasa Inggris: The heart has its reasons which the reason does
not understand (hati-hati memiliki rasionya sendiri yang tidak dapat
dipahami oleh rasoi itu sendiri).
5.
David Hume (1711-1776)
Hume
menjadi terkenal oleh buku yang disebutnya An
Enquiry concerning human understanding.
Waktu mudanya ia juga berpolitik tetapi tak terlalu mendapat
sukses. Dalam filsafsatnya ia merupakan empiris yang konsekwen. Ia menganalisa pengertian Subtansi. Seluruh pengetahuan itu tidak lain dari
jumlah pengalaman kita. Dalam budi kita
tak ada suatu idea yang tidak sesuai dengan impression yang disebabkan ‘hal’
diluar kita. Apa saja yang merupakan
pengetahuan itu hanya disebakan oleh pengalaman. ‘Hal’-nya sendiri tak dapat kita kenal, kita
hanya mendapat impression itu. Adapun
yang bersentuhan dengan indra kita itu sifat-sifat atau gejala-gejala dari hal
tersebut. Yang demikian acapkalinya,
sehingga kita menganggap mempunyai pengertian tentang suatu hal, tetapi
sebetulnya tak adalah itu. Substansi itu
hanya anggapan, khayal, sebenarnya tak ada.
Begitu pula pengertian lainnya yang
tetap dan umum semuanya tak ada halnya.
Kita tak mengetahui kesebaban, yang kita kenal hanya urut-urutan
kejadian, misalnya: pukulan dan kemudian kita rasa sakit. Oleh Karena itu kerapkali merasai sakit
setelah pukulan, maka kemudian ada assosiasi antara pukul dan sakit dan kita
mengatakan, bahwa yang menyebabkan sakit itu pukul. Tetapi sebenarnya tidak demikian. Itu hanya anggapan kita saja.
Dengan amat tegas HUME hanya
menerima persentuhan indra dengan hal luas, hanya itu saja, segala kesimpulan
yang diadakan orang itu tak ada dasarnya sama sekali. Menurut HUME pengetahuan budi tak lagi dapat
dipercaya, dari empirisme ia sebetulnya sampai kepada skepsis.
Walaupun
bagaimana permacam-macam yang terdapat pada pendapat-pendapat ahli pikir yang
kami masukkan kegolongan filsafat empirisme, semuanya melenyapkan kedaulatan
budi atau rasio. Pengalaman
didewa-dewakan benar dengan akibat seperti ternyata pada HUME, dipandang dari
sudut filsafat sukar ada kepastian. Sekali
lagi : filsafat empirisme membuka jalan
keskepsis seluas-luasnya. Disana-sini
hal ini dirasai benar, karena demikian derajat ilmupun merosot. Sebab bagaimana ilmu itu mendasarkan
pendahuluan pengetahuan atas pengalaman, toh selalu mempergunakan
putusan-putusan yang berlaku umum dengan memakai pengertian yang umum
pula. Adapun empirisme sama sekali tak
mengakui kebenaran dan dasar keumuman ini.
Walaupun demikian empirisme ini
berguna juga dalam filsafat pada umumnya.
Ahli pikir lalu memperhatikan dengan sepenuh hati arti dan tugas
pengalaman dalam penyelidikan. Karena
empirisme ini pula filsafat memperhatikan lebih cermat lagi manusia sebagai
keseluruhan[10].
6.
Herbert Spencer (1820-1903)
Filsafat
Herbert Spencer (1820-1903) berpusat
pada teori evolusi. Sembilan tahun sebelum terbitnya karya Darwin yang
terkenal, The Origen of Species (1859),
Spencer sudah menerbitkan bukunya tentang teori evolusi.
Empirisismenya terlihat jelas dalam
filsafatnya tentang the great unknowable.
Menurut Spencer, kita hanya dapat
mengenali fenomena-fenomena atau gejala-gejala. Memang benar di belakang
gejala-gejala itu ada suatu dasar absolut, tetapi yang absolute itu tidak dapat
kita kenal. Secara prinsip pengenalan kita hanya menyangkut relasi-relasi
antara gejala-gejala. Di belakang
gejala-gejala ada sesuatu yang oleh Spencer disebut “yang tidak diketahui” (the great unknowable). Sudah jelas,
demikian Spencer, metafisika menjadi tidak mungkin (Bertens, 1979:76).
[1] Prof. dr. Juhaya. Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (
Jakarta: P.T. Kencana. 2008). Hal. 105
[2] Drs. Surajiyo. Ilmu Filsafat suatu pengantar, (Jakarta: P.T. Bumi Aksara. 2008).
Hal. 66
[3] Suparlan Suhartono. Sejarah Pemikiran Filsafat Modern, (Jogjakarta. Ar-Ruz Media. 2005). Hal. 53
[4] Prof. Dr. Ahmad Tafsir. Filsafat
Umum, (Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya. 2005). Hal 174
[5] Prof. I. R. Poedjawijatna. Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, (
Jakarta: P.T. Rineka Cipta, 2002). Hal. 103-104
Tidak ada komentar:
Posting Komentar