BAB
I
Al-JILI
A.
Biografi
Al-Jili
Al-Jili nama lengkap beliau adalah Abdul
Karim Bin Ibrahim Al-Jili. Ia menulis Kitab AL-Insan Al-Kamil (Manusia
Paripurna) ia lahir pada Tahun 676 H atau 1365 M, di jailan, wilayah utara
iran. Beliau wafat 811 H atau 1409 M, ia mengemukakan pandangan tentang nur
Muhammad yang merupakan gagasan yang berkembang dari Ibnu Arabi.[1]
Pada tahun 790 H ia berada di Kusyi,
India untuk mendalami kesufiannya. Ketika berkunjung ke India ini, Al-jili
melihat tasawuf falsafi ibn Arabi dan tarekat-tarekat antara lain Syisytiyah
(didirikan oleh Mu’in al-Din al-Shysyti, W.623H di Asia Tengah),Suhrawardiyah
(didirikan oleh Abu Najib al-Suhrawardi, W.563 H,di Bagdad), Naqsyabandiyah
(didirikan oleh Baha al-Din al-Naqsyaband, W.791 H.di Bukhara) berkembang
denagn pesat. Sebelum sampai ke India, ia berhenti di Persia dan mempelajari
bahasa Parsi. Di sanalah ia menulis karyanya Jannat-u al-Ma’arif wa Ghayat-u
Murid wa al-Ma’arif.
Pada akhir tahun 799 H ia berkunjung ke
Mekkah dalam rangka menunaikan ibadah haji, namun dalam kesempatan ini ia
sempat pula melakukan tukar pikiran dengan orang disana. Hal ini menandakan
bahwa kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan melebihi kecintaannya terhadap
hal-hal lain. Empat tahun kemudian, yakni tahun 803 H al-jili berkunjung ke
kota Kairo. Dan disana ia sempat belajar di Univeritas al-Azhar, dan bertemu
banyak para teolog, filusuf, dan sufi. Di kota inilah ia menyelesaikan
penulisan bukunya yang berjudul, Ghunyah Arbab al-Sama’ wa Kasyf al Qina’ an
Wujud al-Istima.
Dan dalam tahun yang sama juga ia
berkunjung ke kota Gazzah, Palestina, di kota ini ia menulis bukunya dengan
judul, al-Kamalat al-Ilahiyah. Namun setelah kurang lebih dua tahun kemudian,
ia kembali lagi ke kota Zabid, Yaman dan bertemu kembali dengan gurunya
(al-Jabarti). Maka pada tahun 805 H ia kembali ke Zabit dan sempat bergaul
dengan gurunya itu selama satu tahun, karena pada tahun berikutnya gurunya
meninggal.
Di ketahui bahwa tahun kunjungannya ke
Gazzah merupakan tahun terakhir dari perjalanannya ke luar Zabit. Dari itu,
diketahui pula bahwa sekembalinya dari Gazzah itu ia masih hidup selama lebih
kurang 21 tahun dan masih tetap terus aktif menulis sampai akhir hayatnya.
B.
Pemikiran Al-Jili
Abdul Karim Al Jily menulis buku
Al-Insan Al-Kamil dengan mengakui bahwa ia memperolehnya dari Allah. Ia mengaku
Allah. Ia mengaku, Allah memerintahkannya untuk mengajarkan buku ini
kepada manusia, dan setiap hari isi dari
buku ini ia dukung dengan al-Qur’an dan sunnah. Ia menyatakan “ kemudian aku
meminta dari hyang mengkaji buku ini setelah aku mengajarinya bahwa
sesungguhnya aku tidak meletakkan sesuatua apapun dalam kitab ini, kecuali ia
terdukung oleh kitab Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Jika tampak bagi
seseorang satu hal dalam ucapanku yang bertentangan dari sisi pemahamannya,
bukan maksudku yang untuknya aku menorehkan kalam, dan ia menghindari
pengalamannya, disertai tindakan penyerahan kepada Allah semoga dia membuka
makrifat padanya, dan memperoleh bukti akan hal tersebut dalam kitab Allah dan
sunnah Nabinya.
Manfaat dari penyerahan disini adalah
agar ia tidak terhalangi untuk mencapai pengetahuan tentang hal tersebut.
Karena, siapa yang mengingkari sesuatu dari ilmu kami ini, maka ia terhalangi
untuk mencapainya selama ia mengingkari.tidak ada cara memperolehn ya,
melainkan dikhawatirkan ia terhalang untuk mencapainya secara mutlak sebab
penolakan pada saat pertama. Padahal, tidak ada jalan lain baginya kecuali
beriman dan menyerahkan diri.
Ketahuilah bahwa setiap ilmu yang tidak
didukung dengan Al-qur’an dan sunnah, maka berarti sesat, bukan karen anda
tidak mendapati apa yang mendukungnya. Terkadang suatu ilmu dengan sendirinya
terdukung denmgan Al-Qur’an dan sunnah. Tetapi, sedikit kesiapan telah
menghalangi anda untuk memahami, sehingga anda tidak akan menerimanya. Anda
mengira bahwa ilmu itu tidak terdukung dengan Al-qur’an dan sunnah. Maka,
penyelesaian masalah ini adalah dengan cara menyerahkan diri, tidak mengamalkan
tanpa menolak, hingga Allah menuntun tanganmu untuk mncapainya”.[2]
Proses Munculnya Insan Kamil
Seperti
Ibn ’Arabi, al-Jili membawa teori tajalli dan taraqqi dalam proses munculnya
insan kamil. Menurut al-jili, tajalli Ilahi yang berlangsung secara
terus-menerus pada alam semesta terdiri atas lima martabat, di antaranya
adalah:
Pertama,Uluhiyah, tahap ini adalah tingkat
tertinggi dalam proses tajjali Tuhan, dimana uluhiyah merupakan esensi
(quidity) zat primordial dan merupakan wujud primer yang menjadi sumber segala
yang ada dan tidak ada. Nama yang digunakan dalam peringkat ini adalah “Allah”,
karena dalam pandangan al-Jilli sendiri, sebutan “Allah” merupakan nama
tertinggi bagi Tuhan di atas nama-Nya al-Ahad, yang digunakan oleh Ibn ‘Arabi
sebagai tingkat tajjali tertinggi Tuhan (Ahadiyah).
Kedua, Ahadiyah, tahap ini muncul dari tahap
sebelumnya (uluhiyah), dimana tingkatan ini merupakan sebutan dari zat murni
(al-dzat al-sadzi) yang tidak memiliki nama dan sifat, dan tahap ini tidak bisa
dicapai oleh pengetahuan manusia karena tidak ada kalimat dan kata-kata yang
dapat menggambarkan-Nya. Dan dalam tahap ini menurut al-Jilli mengalami tiga
penurunan (tanazzul):
a.
Ahadiyah, Zat Mutlak menyadari ke-Esa-an diriNya
b.
Huwiyah, kesadaran Zat Mutlak terhadap ke-Esa-an-Nya yang gaib
c.
Aniyah, Zat Mutlak menyadari diri-Nya sebagai Kebenaran
Ketiga, Wahidiyah, dimana pada tahap ini zat
Tuhan menampakan diri-Nya pada sifat dan asma (nama), tetapi sifat dan asma itu
sendiri masih identik dengan zat Tuhan karena zat ini pun masih berupa
potensi-potensi dan belum mampu mengaktual secara keseluruhan. Keempat,
Rahmaniyah, pada tahap ini Tuhan ber-tajjali pada realitas asma dan sifat, dan
dengan kalimat “kun” (jadilah), muncullah realitas-realitas potensial yang
terdapat dalam tahap wahidiyah tadi menjadi wujud yang aktual, yakni alam
semesta. Tetapi aktualitas ini masih bersifat universal, karena bersamaan
dengan proses penciptaan alam secara keseluruhan. Kelima, Rububiyah, dalam
tahap ini Tuhan ber-tajjali pada alam semesta yang sudah mengalami
partikularisasi (terbagi-bagi) dan sudah beragam, khususnya pada diri manusia
(sebagai makhluk yang terbatas) untuk memanifestasikan diri-Nya yang tidak
terbatas itu dengan menunjukan citra-Nya dalam diri manusia, dan citra Tuhan
yang paling utuh bisa kita temukan dalam diri seorang Insan Kamil. Adapun tajjali
ini akan mengalami pantulan yang akan berbalik arah kearah semula (dari zat
sampai perbuatan, kemudian berbalik dan memantul dari perbuatan menuju zat);
pertama tajjali perbuatan (tajjali al-af’al), kedua tajjali nama-nama (tajjali
al-asma), ketiga tajjali sifat-sifat (tajjali al-shifat), keempat tajjali zat
(tajjali al-dzat).
Kemudian al-Jilli sendiri dengan
kejeniusannya membagi taraqqi kepada tujuh tingkatan menuju Insan Kamil:
1.
al-Islam, dimana pada tingakt ini
seseorang harus memiliki identitas keislaman yang mana identitas itu termaktub
dalam rukun Islam: syahadat, sholat, zakat, puasa, dan menunaikan ibadah haji
bagi yang mampu.
2.
al-Iman, pada tingkat ini seseorang
harus memiliki keyakinan yang teguh kepada Allah s.w.t., Malaikat-Malaikat
Allah, Kitab-Kitab Allah, Rasul Alllah, Hari Akhir, dan Qadar.
3.
al-Shaleh, pada tahap ini seseorang
melaksanakan ibadah kepada Allah harus didasari oleh rasa takut (khawf) dan
harap (raja’).
4.
al-Ikhsan, dalam tahap ini seseorang
harus menempuh tujuh maqam, yaitu: tobat, inabah (tobat dari kelalaian
mengingat Tuhan), zuhud, tawakal, rela, tafwidl dalam segala hal, dan ikhlas.
5.
al-Syahadah, pada tahap ini seseorang
akan menyaksikan keindahan dan keagungan Tuhan yang sesungguhnnya.
6.
al-Shiddiqiyah, pada tahap ini bisa
disebut juga tahap makrifat karena seseorang pada tahap ini akan mendapatkan
cahaya kebenaran secara berangsur dari asma-Nya hingga zat-Nya, yaitu:
·
‘ilm al-yaqin, pada tingkat ini seorang
sufi disinari oleh asma Tuhan
·
‘ayn al-yaqin, pada tingkat ini seorang
sufi disinari oleh sifat Tuhan
·
haqq al-yaqin,pada tingakat ini seorang
sufi disinari oleh zat Tuhan
7.
al-Qurbah, pada tahap ini seseorang akan
mendapatkan kedudukan di sisi Tuhan paling terdekat dengan-Nya, dan ada empat
pendekatan kepada Allah, yaitu:
·
al-Khullah, adalah sebuah persahabatan
dengan Tuhan, sehingga Tuhan dikenal secara intim. Dengan demikian sufi
senantiasa berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya.
·
al-Hubb, adalah sebuah percintaan antara
sufi dan Tuhannya, sehingga yang satu merasakan apa yang dirasakan oleh yang
lainnya.
·
al-Khiram, adalah sebuah pencitraan
Tuhan secara utuh terhadap seorang sufi, tetapi kesempurnaan Tuhan tidak
tercapai oleh sufi secara keseluruhan, karena kesempurnaan-Nya tidak terbatas.
·
al-Ubudiyah, adalah sebuah penghambaan
seorang sufi terhadap Tuhannya, karena bagaimanapun ia tidak akan dapat menjadi
Tuhan.
BAB II
IBNU MASSARRAH
- Biografi Ibnu Masarrah
Muhammad bin 'Abd Allah ibn Masarra lahir di Cordoba, Spanyol, di
269 ah / iklan 883 dan meninggal di ah 319 / 931 iklan. Dalam pertapaan ia
didirikan untuk teman-temannya dan murid di Sierra Cordoba, Ibnu Masarra
melakukan untuk mengajarkan doktrin, untuk menginisiasi mereka ke dalam
penggunaan pengetahuan esoteris dan mempraktekkan sifat zuhudnya
(asketisme) melalui tindakan penebusan dosa dan pengabdian. Kesuksesannya
datang dari gaya Socrates pedagogi serta kepribadian yang karismatik dan
keterampilan dalam komunikasi. Setelah kematiannya para ahli hukum dilakukan
penganiayaan yang sesungguhnya dari para murid-Nya; yang telah membentuk diri
mereka menjadi sebuah tatanan pertapa, Masarriya, di Cordoba dan kemudian di
Almería.[3]
Dua dari empat Ibnu Masarra-karya, Kitab
al-i'tibar dan Kitab al-huruf
khawass (Karakteristik Sastra) , diterbitkan pada tahun 1982Keduanya
saluran pendek yang telah memberikan pemahaman yang lebih baik pemikirannya,
tetapi karena keringkasan mereka menimbulkan pertanyaan baru. Hal ini masih
tidak mungkin untuk merekonstruksi sistem filsafat sampai karya tersisa
ditemukan, terutama Tauhid, al-muqinin (Profesi tertentu dari Keesaan
Allah), di mana ia membahas atribut Allah.
Ibnu Masarrah adalah seorang penganut Mu’tazilah, kemudian ia
beralih menjadi penganut Neoplatonisme.
Pemikiran Ibnu Masarrah
adalah bahwa jalan keselamatan adalah penyucian diri, kezuhudan, tindakan memprioritaskan akal atas
panca indra dan berusaha kembali kepada cinta yang merupakan pokok utama
kehadiran manusia di alam semesta. Sebab dengan cara itu, berbagai unsur
kejadiannya akan bersatu satu sama lain, sehingga terbentuklah sebuah kesatuan
(Al Wahdah). Di sisi lain Ibnu Masarrah menganut pemikiran mazhab lain yang
hampir menyerupai mazhab Plotinus, yaitu pemikirannya tentang teori emanasi (Al-Faidh)
sebagai teori tentang awal mula segala wujud, alam, segala sesuatu yang ada di
dalamnya, atau seluruh mahkluk yang ada.
Konsep emanasi Ibnu
Masarrah ada 5;
1. Unsuh Ruhani (Anasir ru ha niyyah) yakni
hakikat mental.
2. Akal
3. Jiwa
4. Tabi’at
5. Materi kasar
- Gambaran umum mazhab Ibnu Masarrah
Cirri khas pola piker
Ibnu Masarrah adalah berpegang teguh pada prinsip penakwilan (Takwil) sejalan
dengan pemikiran Philon Iskandar atau sekte Isma’illiyah. Ibnu Masarrah sangat
banyak melakukan penakwilan atas ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara penakwilan
sekte kebatinan. Ia menolak kebangkitan jasmani di akhirat, menafikan
pengetahuan Allah tentang hal-hal pertikular kecuali bila sudah terjadi. Begitu
juga ia berpendapat bahwa siksa neraka bukan siksaan hakiki. Hal serupa di
kemukakan oleh Ibnu Arabi sesudahnya.
Diantara pemikiran yang
dianggap sebagai ucapan Ibnu Masarrah adalah sebagai berikut;
“Arsy adalah yang
mengatur alam semesta ini dan Allah pada dasranya terlalu mulia bila dikatakan
bahwa Dia melakukan sesuatu. Semua yang diungkapkan oleh Ibnu Masarrah
merupakan pemikiran pengikut Neoplatonisme. Pemikiran Ibnu Masarrah ini sama
dengan apa yang dikemukakan oleh Philon dalam teori perantara.
Menurut Ibnu Hazm,
kebanyakan pengikut Ibnu Masarrah dan juga para penentangnya di Granada
menyebutkan bahwa Ibnu Masarrah berpendapat bahwa kenabian adalah sebuah maqam
yang bisa dicapai dengan usaha (Iktisabi). Menurutnya kenabian pada dasarnya
bukanlah sesuatu yang istimewa (Ikhtishash), yang hanya khusus dimiliki oleh
orang-orang tertentu. Selain itu, teori yang dinisbatkan kepadanya dan juga
kepada mazhab pemikirannya adalah teori Plato tentang jiwa dan teori para
pengikut Hermetisme yang mengatakan bahwa jiwa manusia harus dibebaskan dan
dikembalikan ke tempatnya semula melalui penyucian jiwa dan kezuhudan.
Di antara buku-buku
Ibnu Masarrah adalah kitab yang berjudul Tauhid
Al Muqimin (buku ini membahas tentang sifat Tuhan dan menyatakan Tuhan
bukan dzat). Dari pemikiran Ibnu Masarrah tentang lahiriyah tampak bahwa ia terpengaruh
oleh teori ide yang dikemukakan oleh Plato.[4]
BAB III
IBNU SABIIN
- Biografi Ibnu Sabi’in
Nama lengkap
Ibnu Sabi’in adalah Abdul al-haq bin Ibrahim bin Muhammad bin Nashr bin
Muhammad. Ia adalah seorang Sufi dan filosof besar dari Andalusia dan Eropa
karna jawaban-jawabannya atas pertanyaan Frederich II, penguasa Sicilia. Dia
dipanggil ibnu sabi’in dan dikenal pula dengan Abu Muhammad. Ia dibenci oleh
sebagian Ulama Ahlusunnah karna dituduh menyebarluaskan ajaran Syi’ah. Ia
berasal dari keturunan Arab, Ia lahir pada tahun 614 H, di kawasan Murcia,
Andalus. Lahirnya Ibnu Sab’in, pada paruh awal abad ke-7 tepat pada masa akhir
dinasti Muwahhidin berkuasa di Andalus dan beliau wafat pada tahun 669 H, karna
diracun oleh Al-Muzaffar Syamsyuddin Yusuf, Menteri di Yaman. Ia telah menulis
sejumlah karya antara lain AL-Jawab Shahib Syiqqiyah (yang berisikan jawaban
atas penguasa Sicilia) dan Budd At’arif. Ibnu Sabi’in mendirikan sebuah tarikat
As-Sab’iyyah. [5]
Dia mempelajari bahasa Arab dan sastra, dia juga
mempelajari ilmu agama dari madzhab Maliki, ilmu-ilmu logika, dan filsafat. Ia
mengemukakan gurunya bahwa diantara guru-gurunay adalah Ibn Dihaq, yang dikenal
juga dengan Ibn Al-Mir'ah. Ibn Sab'in
tumbuh dewasa dalam keluarga bangsawan, hidupnya dalam suasana penuh kemuliaan
dan berkecukupan tetapi beliau menjauhi kesenangan hidup kemewahan dan
kepemimpinan duniawi, lalu hidup sebagai asketis maupun sufi yang mempunyai
banyak murid.
Ibn Sab'in mendirikan suatu tarekat yang dikenal
dengan tarekat As-Sab'iniyyah. Para pengikutnya mengenakan pakaian khusus yang
dikecam para fuqaha karena memiliki silsilah tarikat yang controversial. Salah
seorang muridnya Asy-Syusytari, mengemukakan bahwa dalam istilah tersebut
terdapat antara lain, plato, Socrates, Plato, aristoteles, Iskandar agung,
Al-Halaj dll. Ia dikenal sebagai Tokoh Tasawuf
Falsafi karena meyakini Al-Wahdah
Al-Muthlaqah. Ibnu sabi’in
lebih tegas mengembangkan pendapatnya daripada ibnu arabi dalam menegasikan
pluralitas dan kesatuan.pendapatnya
dikenal dengan keasatuan muthlak (AL-wahdah al muthlaqa).[6]
- Ajaran Tasawuf Ibn SAb'in
Kesatuan mutlak /
Wihdatul al-Mutlaqah
Ibnu Sab'in menggagas sebuah faham dalam tasawuf
filosofis, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak, gagasan esensialnya
sederhana yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata. Wujud yang lainnya
yaitu wujud yang satu itu sendiri.
Paham ini lebih dikenal dengan sebutan paham
kesatuan mutlak. Kesatuan mutlak ini, atau kesatuan murni -atau menguasai-
menurut terminologi Ibn Sab'in pun, hampir tidak mungkin mendeskripsikan
kesatuan itu sendiri. Dalam paham ini, Ibn Sab'in menempatkan ketuhanan pada
tempat pertama. Sebab wujud Allah-menurutnya adalah asal segala yang ada pada
masa lalu, masa kini, maupun masa depan. Sementara wujud materi yang tampak
justru dia rujukan pada wujud mutlak yang rohaniah. Dengan demikian, berarti
paham ini dalam menafsirkan wujud bercorak spiritual dan bukan material.
Pemikiran Ibn Sab'in ini mengambil rujukan dari
Al-quran, yang diinterpretasikan secara filosofis ataupun khusus. Pemikiran
Ibnu Sab'in ini mengambil rujukan Al-Quran Dari, Yang diinterpretasikan secara
filosofis ataupun Khusus. Misalnya firman Allah ”Dia itulah Yang Awal dan Yang
Akhir, yang dzahir dan yang Batin.”(QSAl-Hadid ; 3) dan firman-Nya, tiap-tiap
sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.” (QS Al-Qashas :28) terkadang dia
memperkuat pahamnya dengan hadis-hadis Nabi, di antarnya dengan hadis Qudsi,
“Apa yang pertama-tama diciptakan Allah adalah akal budi. Misalnya firman Allah
"Dia itulah Yang Awal Akhir Yang murah, Yang dzahir murah Yang
Batin." (QSAl-Hadid; 3) Dan firman-Nya, tiap-tiap sesuatu pasti binasa,
kecuali Allah "(QS Al-Qashas: 28). terkadang memperkuat dialog pahamnya
hadis-hadis DENGAN Nabi, di antarnya hadis Qudsi dengan, "Apa Yang
Pertama-tama diciptakan Allah adalah akal budi. Maka firman Allah kepadanya,
terimalah! Maka firman Allah kepadanya, terimalah! Ia pun menerimanya…”. Ia pun
menerimanya ... ". Namun Ibn Taimiyah menolah menolak dan mengecam keras
pendapat Ibn Sab'in tentang kesatuan mutlak, menjelaskan bahwa interpretasi Ibn
Sab'in terhadap nash-nash agama tidaklah benar. Namun Ibnu Taimiyah menolak
menolah mengecam keras murah Pendapat Ibnu Sab'in tentang kesatuan Mutlak,
menjelaskan bahwa Ibnu Sab'in terhadap interpretasi nash-nash agama tidaklah
Benar. Begitu juga dengan hadits qudsi yang digunakan adalah hadis maudu'.
Begitu juga hadits qudsi DENGAN Yang digunakan adalah hadis maudu '.
Paham kesatuan mutlak Ibn Sab'in ini mirip dengan paham “hakikat
Muhamad” ataupun “Qutb” dari sebagian para sufi yang juga filosof, seperti Ibn
Arabi dan Ibn Al-Faridh, atau paham “manusia Sempurna” dari Abdul karim
Al-jalili. Paham kesatuan Mutlak Ibnu Sab'in ini mirip dengan paham
"hakikat Muhammad" ataupun "Qutb" Menurut Ibn Sab'in
pencapaian kesatuan mutlak adalah individu yang paling sempurna.
Menurut Ibnu Sab'in pencapaian kesatuan Mutlak
adalah Yang Paling Sempurna yang dimiliki seorang fuqaha, teolog, filosof,
maupun sufi. Sempurna Yang dimiliki seorang Fuqaha, teolog, filosof, maupun
sufi. Inilah pribadi yang melebihi mereka semua dengan pengetahuannya yang
khusus, yaitu ilmu pencapaian yang menjadi pintu gerbang kenabian, sosok
pribadi yang dari segi hakikat rohaniahnya justru bersatu dengan nabi, yang mengendalkan
semesta; dan segala sesuatu pun didasarkan padanya. Inilah Pribadi Yang
melebihi mereka dengan pengetahuannya Semua Yang Khusus, yaitu ilmu pencapaian
Pintu Gerbang Yang menjadi kenabian, sosok Pribadi Yang Dari Segi hakikat
rohaniahnya justru Bersatu dengan nabi, Yang mengendalkan semesta; murah Segala
sesuatu pun didasarkan padanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abuddin
Nata, Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Dr.
Ibrahim Hilal, Tasawuf Antar Agama
dan Filsafat , Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
Muhsin
Labib, Mengurai Tasawuf Irfan & Kebatinan, Jakarta : PT.Lentera Basritama, 2004.
Muhsin
Labib, Mengurai Tasawuf Irfan Dan Kebatinan. Jakarta: P.T. Lentera
Basritama, 2004,
Prof. Dr. Nur
Syam M. Si, Tasawuf Kultural: fenomena
shalawat wahidiyah, Yogjakarta:
PT. LKIS Pelangi Aksara, 2008.
Syekh
Abdur Rahman Abdul Khaliq, Penyimpangan-Penyimpangan Tasawuf (cet 1).
Jakarta: Robbani Press, 2001.
Yunasril
Ali, Manusia Citra Ilahi “ Pengemabangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabi Oleh
Al-Jili”. Jakarta: Paramadina, 1997.
[1]
Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf Irfan Dan Kebatinan, ( Jakarta:
P.T. Lentera Basritama, 2004), hal. 198
[2]
Syekh Abdur Rahman Abdul
Khaliq, Penyimpangan-Penyimpangan Tasawuf (cet 1). ( Jakarta: Robbani
Press, 2001). Hal. 133
[3]
http://www.muslimphilosophy.com/ip/rep/H032,
04 juli 2011
[4]
Dr. Ibrahim Hilal, Tasawuf Antar Agama dan Filsafat , (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), hlm.
134-140.
[5]
Muhsin Labib, Mengurai
Tasawuf Irfan & Kebatinan, (Jakarta
: PT.Lentera Basritama, 2004) hal 192
[6] Prof. Dr. Nur
Syam M. Si, Tasawuf Kultural:
fenomena shalawat wahidiyah,
(Yogjakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara, 2008) hal. 49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar