Kamis, 12 Desember 2013

نظرية المحاكة / Teori sastra Mimesis

 Teori Mimesis ( Plato dan Aristoteles)

Plato, dengan teori mimesisnya dianggap sebagai pelopor teori sosial sastra (Damono, 1979:16). Kata mimetik berasal dari kata mimesis (bahasa Yunani) yang berarti tiruan. Teori mimetik menganggap karya sastra sebagai  tiruan alam atau kehidupan (Abrams, 1981).

Menurut pandangan Plato, segala yang ada di dunia ini sebenarnya hanya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan. Dalam dunia gagasan, ada gagasan mengenai manusia, semua manusia yang ada di dunia ini (manusia nyata) adalah tiruan dari manusia yang ada di dunia gagasan tersebut. Demikian juga benda-benda yang ada di dunia: bunga, pohon, meja, kursi, dan lain sebagainya diangap sebagai tiruan dari  dunia gagasan mengenai hal-hal tersebut. Maka, ketika seorang penyair kemudian menggambarkan mengenai pohon dalam puisinya, misalnya, dia hanyalah menggambarkan tiruan dari sebuah tiruan. Oleh karenanya, puisi atau sajak yang dihasilkannya tidak  lain hanyalah tiruan dari barang tiruan (Damono, 1979:16).

Pandangan Plato tersebut tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan pendirian filsafatnya mengenai kenyataan, yang bersifat hirarki (Teeuw, 1988:220). Menurut Plato ada beberapa tataran  tentang Ada, yang masing-masing mencoba melahirkan nilai-nilai yang mengatasi tatanannya. Yang nyata secara mutlak hanya yang Baik, dan derajat kenyataan semesta tergantung pada derajat kedekatannya terhadap Ada yang abadi (Verdinius, via  Teeuw, 1988:220). Dunia empirik tidak mewakili kenyataan yang sungguh-sungguh, hanya dapat mendekatinya lewat mimesis, peneladanan atau pembayangan atau peniruan. Misalnya, pikiran dan nalar kita meneladani kenyataan, kata meniru benda, bunyi meniru keselarasan IIlahi, waktu meniru keabadian, hukum-hukum meniru Kebenaran, pemerintah manusia meniru pemerintah ideal, manusia yang saleh meniru dewa-dewa, dan seterusnya (Teeuw, 1988:220). Dalam rangka ini, menurut Plato, mimesis atau sarana artistik tidak mungkin mengacu langsung pada nilai-nilai yang ideal, karena seni terpisah dari tataran Ada yang sungguh-sungguh oleh derajat dunia kenyataan yang fenomenal. Seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak, berdiri di bawah kenyataan itu sendiri yang hirarki (Teeuw, 1988:220).

Walaupun Plato cenderung merendahkan nilai karya sastra, yang hanya dipandang sebagai tiruan dari tiruan, namun  dalam pandangannya tersebut tersirat adanya hubungan antara karya sastra dengan masyarakat (kenyataan). Apa yang tergambar dalam karya sastra, memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi dalam masyarakat.

Hubungan antara sastra dengan masyarakat selanjutnya dirumuskan kembali oleh Aristoteles, dengan teori kreasi. Berbeda dengan Plato yang memandang sastra sebagai tiruan kenyataan, Aristoteles (via Luxemburg dkk, 1984) memandang mimesis yang dilakukan para seniman tidak berarti semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan merupakan sebuah proses kreatif. Sambil bertitik pangkal pada kenyataan, seniman (penyair) menciptakan kembali kenyataan. Seniman mencipta dunianya sendiri dengan probability yang memaksa, dengan ketakrelaannya. Apa yang terjadi dalam ciptaan seniman masuk akal dalam keseluruhan dunia ciptaan itu dan sekaligus,  karena dunia itu merupakan kontraksi, perpaduan yang berdasarkan unsur-unsur dunia nyata.

Karena seniman (penyair) menciptakan kembali kenyataan, maka menurut Aristoteles, nilai karya seniman lebih tinggi dari karya seorang tukang. Dalam karya seorang seniman pandangan, vision, penafsiran kenyataanlah yang dominan dan kepandaiannya diabadikan pada interpretasi, pemberian makna pada eksistensi manusia (Teeuw, 1988:222). Berbeda dengan Plato yang cenderung merendahkan karya seni dalam hubungannya kenyataan, Aristoteles memberikan penghargaan yang tinggi terhadap karya seni. Menurutnya karya seni, menjadi sarana pengetahuan yang khas, cara yang unik untuk membayangkan pemahaman tentang aspek atau tahap situasi manusia yang tidak dapat diungkapkan dan dikomunikasikan dengan jalan lain (Teeuw, 1988:222).
Dalam sosiologi sastra teori Plato dan Aristoteles dianggap mendasari kajian sosiologi karya sastra, yang  membahas ”kenyataan” yang terdapat dalam karya sastra dalam hubungannya dengan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat dan menganggap sastra sebagai sarana untuk mencatat dokumen sosial historis masyarakat. Dalam kajian sosiologi sastra yang awal, hubungan antara karya sastra dengan kenyataan, sering kali dipahami dalam hubungan  yang bersifat langsung, tanpa mengingat hakikat sastra sebagai karya estetik yang diciptakan pengarang, dengan berbagai latar belakang dan notivasi yang kesemuanya akan ikut berperanan dalam membentuk ”realitas” yang tergambar dalam karya sastra


Rabu, 11 Desember 2013

KERAJAAN SAFAWI DI PERSIA ( SEJARAH PERADABAN ISLAM)


KATA PENGANTAR
بِـسْمِ اللهِ الّرَحْمَنِ الَّرَحِيْمِ
Alhamdulillah, segala puji kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya hingga makalah ini dapat selesai.
Selawat beserta salam kehadirat junjungan alam baginda Rasulallah SAW, kemudian ucapan terima kasih kepada ibu Innayatillah, M. Ag yang telah memberikan kesempatan dan waktu untuk menyelesaikan makalah ini.
Terima kasih kepada pembaca, yang telah membaca makalah sederhana ini. Dan besar harapan segenap penulis makalah ini, agar pembaca sudi kiranya memberikan kritikan dan saran yang dapat membangun untuk makalah ini kedepannya. Amin




Banda Aceh, 14 januari 2011


  Penulis


Bagian I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam setiap dekade kehidupan, waktu terus berputar bagai roda, bagian yang bawah kadang keatas dan sebaliknya. Bagitu juga dengan perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam.
Sepeninggalan Rasulullah Islam sudah tersebar di seantero jazirah Arab, Islam terus melakukan expansi di bawah kendali pada khalifah Ar-Rasyidin dan selanjutnya dilanjutkan oleh rezim Umayyah kemudian rezim Abbasyiah, di akhir pemerintahan Abbasiyah Islam semakin merosot selama beberapa abad.
Ditengah-tengah keterpurukan isLam muncullah tiga kerajaan besar, kerajaan Turki Usmani ( Ottoman ) di Turki, kerajaan Safawiyah di Persia dan kerajaan Mughal di India. Dalam makalah ini penulis akan mengangkat pembahasan tentang Kerajaan Safawiyah, dari awal berdirinya hingga akhir pemerintahannya.

B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah awal berdirinya kerajaan Safawi dan perkembangannya ?
2.      Bagaimana kemajuan kejaraan Safawi ?
3.      Dan bagaimana kemunduran kerajaan Safawi ?

C. Tujuan Penulisan
1.      Untuk megetahui sejarah berdirinya Kerajaan Safawiyah.
2.      Mempelajari kemajuan yang dialami Kerajaan Safawi.
3.      Dan mempelajari kemunduran  kerajaan tersebut.



Bagian II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Muncul dan Berkembang Kerajaan Safawi
      1. Proses Pembentukan Kerajaan Safawi
          Kerajaan Safawi berdiri secara resmi di Persia pada 1501 M. Namun kerajaan ini tidak berdiri sendiri. Peristiwa tersebut berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya dalam rentang waktu yang cukup panjang. Yakni kurang lebih 2 abad, waktu yang hampir sama dengan usia kerajaan Safawi. Cikal bakal Safawi tumbuh lambat laun, tapi pasti menuju zaman yang penuh dengan muatan historis yang sangat penting.
Secara etimologis nama kerajaan “Safawi” berasal dari kata Safi yang diambil nama seorang sufi bernama Safi Al-din Ishaq Al-Ardabili lahir pada tahun 1252 M pendiri tarekat Safawiyah dan bukan dari kata sufi. 6 tahun sebelum Hulagu Khan menghancurkan Baghdad, ia lahir di kota Ardabil sebuah kota paling Timur dari Azerbaijan. Sejak kecil ia sudah menggemari amalan keagamaan dan kehidupan sufistik.
“Pada usia 25 tahun ia belajar pada seorang sufi bernama Zahid Tajuddin, di Jailan dekat laut Kaspia. Kurang lebih selama 25 tahun, kemudian beliau diangkat menjadi menantu, setelah gurunya wafat ia mengantikan kedudukan gurunya sebagai guru tarekat, tarekat ini kemudian dikenal Tarekat Safawi yang berpusat di Ardabil”.[1]
Adapun mengenai asal usul keturunan Safi Al-din masih menjadi problematika kontroversial. “Menurut keluarga Safawi Safi Al-din Ishaq Al-Ardabili adalah keturunan dari Musa Al-Kazim imam ketujuh dari Syiah Imam yang dua belas. Oleh karena itu, ia termasuk keturunan Rasulullah SAW dari garis puterinya Fatimah. Namun menurut pendapat yang lain Safi Al-din adalah penduduk asli Iran dari Kurdistan yang berbahasa Turki yang di pakai di wilayah Azerbaijan, ia dianggap beraliran syiah tetapi juga sunni yang bermazhab Syafi’i sedangkan penggantinya yang kedua Khawaja Ali merupakan penganut syiah moderat”.[2]
Sebelum menjadi kerajaan, Safawi mengalami 2 fase pertumbuhan pertama fase dimana safawi bergerak dibidang keagamaan (cultural) dan kedua sebagai gerakan politik (struktural).
Pada tahun 1301 - 1447 M gerakan Safawi masih murni gerakan keagamaan dengan tarekat Safawiyah sebagai sarana, tarekat ini mempunyai pengikut yang sangat besar hal ini terjadi karena pada saat itu, umat umumnya hidup dalam suasana apatis dan pasrah melihat anarki politik yang berkecamuk. Hanya dengan kehidupan keagamaan lewat sufisme, mereka mendapat persaudaraan tarekat, dan mereka merasa aman dalam menjalin persaudaraan antar muslim.
Pada fase pertama ini gerakan tarekat Safawi tidak mencampuri masalah politik sehingga dia berjalan dengan aman dan lancar baik pada masa Ilkhan maupun pada masa penjarahan Timur Lenk.  Dan dalam fase ini gerakan Safawi mempunyai dua corak, pertama bernuansa Sunni yaitu pada masa pimpinan Safiuddin Ishaq ( 1301 - 1344) dan anaknya Sadruddin Musa (1344 - 1399), kedua berubah menjadi Syiah pada masa Khawaja Ali (1399 - 1427). Perubahan ini terjadi karena ada kemungkinan bertambahnya pengikut Safawi di kalangan syiah sehingga kepemimpinannya berusaha menyusuaian diri dengan aliran manyoritas pendukungnya.

      2. Perubahan dari Sistem Sosial-Organik ke Sistem Religio-Politik
          Pada masa 1447 - 1501 M, gerakan Safawi memasuki fase kedua yaitu sebagai gerakan politik. Kecenderungan memasuki dunia politik terwujud pada masa kepemimpinan Juned (1447 - 1501 M). Juned  mengubahnya menjadi gerakan politik revolusioner dengan tarekat Safawi sebagai sarananya.
Gerakan ini mulai terlibat dalam konflik politik antara dua kerajaan Turki yang berkuasa saat itu. Kara Koyunlu ( Black Sheep) beraliran syiah berkuasa dibagian Timur dan Ak Koyunlu (White sheep) beraliran Sunni berkuasa dibagian Barat di bawah imperum Usmani. Tarekat Safawi memperluas tarekatnya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan ini menimbulkan konflik dengan Jahansyah penguasa Kara Koyunlu pada tahun 1447 M Juned kalah dan diasingkan dari Ardabil.
Juned kemudian meminta suaka politik pada raja Ak Koyunlu sekaligus mengadakan aliansi politik untuk bersama-bersama menghadapi Kara Koyonlu. Hal ini dilakukannya untuk mendapatkan wilayah sebagai baris gerakan Safawi.
Perubahan Safawi dari gerakan keagamaan menjadi gerakan politik cukup menarik, karena sebagai tarekat sufi yang lebih bersifat Ukhrawi kemudian menjadi duniawi (profan), faktor utama yang menyebabkan adanya perubahan tersebut ada pada ajaran tarekat itu sendiri yaitu hubungan antara pemimpin tarekat dengan pengikut-pengikutnya. Pemimpin tarekat yang disebut Mursyid mempunyai wakil di daerah-daerah tertentu tempat pengikut-pengikutnya berada, anggota tarekat harus tunduk secara mutlak kepada Mursyid dan wakilnya itu. Oleh karena itu, ikatan antara pemimpin dengan pengikutnya sangat kuat sehingga semacam ada hierarki spiritual. Dalam tarekat Safawi pemimpin yang meninggal dunia selalu digantikan oleh anaknya seperti dalam kepemimpinan dinasti, ini menjadi modal dasar yang mendorong perubahan tersebut jika pemimpin seperti Juned memiliki ambisi politik para pengikutnya dapat disulap menjadi tentara yang fanatik dan mendukung ambisi politik pemimpinnya.[3]
Selama dalam suaka Ak Koyunlu baik Juned maupun Haidar bin Juned telah melakukan kegiatan politik seperti Juned menikahi saudara Uzun Hasan (Raja Ak Kayunlu). “Aliansi politik ini diperkuat lagi dengan pernikahan Haidar bin Juned dengan Putri Uzun Hasan sendiri, dari istrinya sendiri Despin Katrina, puteri Kaloo Juhannis, seorang raja Kristen dipantai Timur Laut Hitam”.[4] Tapi menurut buku Munawiyah, dkk, Sejarah Peradaban Islam, dikatakan bahwa Haidar menikah dengan cucu Uzun Hasan bukan dengan putri Uzun Hasan sendiri, dari perkawinan Haidar lahir Ali, Ismail dan Ibrahim, Ismail-lah yang kemudian hari menjadi pendiri Kerajaan Safawi dan menetapkan syiah sebagai mazhab negara.
Pada tahun 1459 M Juned berusaha menyerang Ardabil tetapi gagal kemudian pada tahun 1460 M, ia mencoba merebut Sircassia dan juga daerah Utara yang didiami orang Kristen Georgia tetapi pasukan yang di pimpinnya di hadang oleh tentara Sirwan dan ia terbunuh dalam pertumpuran tersebut.
Haidar pun mengikuti jejak ayahnya ia membantu Ak Koyunlu menyerang Kara Koyunlu setelah Ak Koyunlu menumbangkan Kara koyunlu pada tahun 1467 M, aliansi Safawi dengan Ak Koyunlu menjadi guncang. Ak Koyunlu menganggap Safawi sebagai lawan politik yang dapat membahayakan Ak Koyunlu.
Ketika Haidar mencoba merebut Sisilia ( Sirkasia ) daerah-daerah Kristen di Utara dan Sirwan, Ak Koyunlu mengirimkan bantuan militer kepada Sirwan. Pasukan Haidar kalah ia pun terbunuh. “Kecenderungan Haidar  menyerang daerah-daerah  Kristen di Utara di mungkinkan untuk memperoleh daerah pijakan yang akan memperkuat basis politik yang independen karena selama ini Safawi hanya merupakan dinasti politik spiritual tanpa tanah air”. [5]
“Meskipun Haidar belum mewujudkan cita-cita gerakan Safawi namun ia sempat memberikan atribut kepada pendukung-pendukungnya berupa serban merah yang berumbai 12, sehingga mereka terkenal dengan sebutan Qizilbas (kepala merah). Rumbai 12 yang menjadi lambang Syiah isna ‘asyar (12 imam) mempunyai pengaruh yang besar dalam menanamkan fanatisme dan militansi para pengikut syiah”.[6]

         3. Berdirinya Kerajaan Safawi Secara Resmi
             Setelah kematian Haidar, Ali menggantikan ayahnya, ia didesak bala tentara untuk menuntut balas atas kematian ayahnya, tapi Ali di tangkap oleh Ya’kub (Raja Ak Koyunlu), lalu dibuang ke Fars bersama ibu dan dua orang saudaranya Ibrahim dan Ismail selama 4 tahun setengah (1589 – 1593 M).
              Situasi itu mendorong pengikut-pengikut Safawi di Persia, Armenia, Anatolia dan Syiria mengonsolidasikan kekuatan sendiri, hingga Ali di lepaskan. Tetapi ketika penguasa Ak koyunlu di pegang oleh Rustam, Ali di tangkap dan dibuang ke Ray sampai akhirnya dibunuh. Sebelum meninggal Ali sempat mengangkat adik bungsunya Ismail bin Haidar yang waktu itu berusia tujuh tahun untuk menjadi pemimpin Safawi.
              Dalam waktu lima tahun, Ismail berhasil menghimpun kekuatan yang cukup besar dan bermarkas di Gilan. Pada tahun 1501 M, pecah pertempuran antara Ak koyunlu dengan Safawi di Sahrur dekat Nakhiwan dengan kemenangan di pihak Safawi. Ismail memasuki kota Tabris dengan penuh kebanggaan dan memproklamasikan berdirinya Kerjaan Safawi. Ia sendiri menjadi raja pertamanya dan menjadikan Syi’ah sebagai ideologi negara.

         4. Perkembangan Kerajaan Safawi
             Ismail memerintah selama 23 tahun (1501 – 1524). Selama sepuluh tahun pertama pemerintahannya, Ismail berhasil memperluas wilayah pemerintahan sampai mencakup seluruh wilayah Persia dan sebelah Timur Fertile Creshen. Pada tahun 1502 M, Ismail telah menduduki Sirwan, Azerbaijan dan Irak. Pada 1503 M, ia menghancurkan sisa-sisa tentara Ak Koyunlu di Hamadzan. Pada tahun 1504 Ismail menduduki Provinsi Kaspia dari Mazandaran dan Curgan. Diyar Bakr  ditaklukkan pada tahun 1505 M, dan Baghdad jatuh ketangannya pada tahun 1508 M. Pada tahun 1510 M ia menguasai Khurasan  setelah terlibat dalam pertempuran dengan Syaibani Khan, raja Uzbek. Kemenangan beruntun itu merupakan sukses mewujudkan kerajaan Safawi yang membentang dari  Heart (Harat) di Timur sampai Diyar Bark di Barat.
              Bahkan tidak sampai di situ saja, ambisi politik mendorongnya untuk terus mengembangkan wilayah kekuasaan ke daerah-daerah lainnya seperti Turki Usmani. Ismail Berusaha merebut dan mengadakan expansi ke wilayah kerajaan Usmani (1514 M) tapi dalam peperangan ini Ismail mengalami kekalahan, Turki di bawah pimpinan Sultan Salim dapat menduduki Tabris. Kerajaan Safawi terselamatkan dengan pulangnya Sultan Usmani ke Turki, karena terjadi perpecahan di kalangan militer Turki di negerinya “ kekalahan ini membuat Ismail I berubah, ia lebih sering menyendiri, menempuh kehidupan hura-hura dan berburu. Keadaan ini berdampak negatif pada Kerajaan Safawi, hingga akhirnya terjadi persaingan dalam merebut pengaruh untuk dapat memimpin, antara pimpinan suku-suku Turki, pejabat, keturunan Persia dan Qizilbash”.[7] “Penyebab utama terjadi peperangan antara Safawi dan Usmani menurut Syalabi adalah pemaksaan faham Syi’ah terhadap mayoritas faham Sunni, dan lebih kejam Ismail I telah membunuh ulama Sunni di daerah Irak. Sehingga turki merasa terpanggil dengan kebiadaban Syi’ah”.[8]
              Sepeninggal Ismail I, permusuhan dengan Kerajaan Usmani terus berlanjut, terjadi beberapa perang antara keduanya yaitu pada masa Tahmasp 1 (1524-1576), Isamail II (1576-1577) dan Muhammad Khudabanda (1577-1587) pada masa tiga Raja Safawi mengalami kelemahan, karena sering berperang dengan kerajaan Usmani yang lebih kuat, dan juga sering terjadi pertentangan antara kelompok dari dalam kerajaan Safawi sendiri.
              Kerajaan Safawi bertahan lebih 2 abad dengan pemimpin sebagai berikut:
1)      Ismail I (1501-1524 M)
2)      Tahmasap I (1524-1576 M)
3)      Ismail II (1576-1577 M)
4)      Muhammad Khudabanda ( 1577-1587 M)
5)      Abbas I ( 1587-1628 M)
6)      Safi Mirza (1628-1642 M)
7)      Abbas II (1642-1667 M)
8)      Sulaiman (1667-1694 M)
9)      Husein I (1694-1722 M)
10)  Tahmasap II (1722-1732 M)
11)  Abbas III (1732-1736 M)


B. Wujud dan Corak Kemajuan Kerajaan Safawi
      1. Kemajuan di Bidang Politik
          Masa kemajuan Kerajaan Safawi tidak langsung terjadi pada masa Ismail, Raja pertama (1501-1524 M) kejayaan Safawi yang gemilang baru di capai pada masa Syah Abbas yang Agung (1587-1628 M) Raja yang kelima. Walaupun begitu, peran Ismail sebagai pendiri Safawi sangat besar sebagai peletak pondasi bagi kemajuan Safawi di kemudian hari. Dia telah memberikan corak yang khas bagi Safawi dengan menetapkan Syiah sebagai mazhab negara. Syah Ismail juga telah memberikan dua karya besar bagi negaranya, yaitu perluasan wilayah dan penyusunan struktur pemerintahan yang unik pada masanya.
            Seperti di katakan sebelumnya Safawi jaya pada masa Abbas I (1587-1628).   Syah Abbas yang Agung naik tahta pada usia 17 tahun. Ketika Abbas memerintah kerajaan Safawi berada dalam keadaan tidak stabil. Syah Abbas menempuh beberapa langkah untuk memperbaiki situasi tersebut, antara lain:
a)      Menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash atas kerajaan Safawi dengan membentuk pasukan baru yang terdiri dari bekas tawanan perang bekas orang-orang Kristen di Georgia dan Circhasia yang sudah mulai di bawa ke Persia sejak Syah Tahmasap I (1524-1576) di beri nama “ Ghulam”.
b)      “Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani dengan cara berjanji menyerahkan wilayah Azerbaizan, Georgia dan sebagian wilayah Luristan, dan tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam (Abu Bakar, Umar, Usman) dalam khutbah jum’atnya”[9].
      Secara politik Syah Abbas I sangat maju, karena ia mampu mewujudkan integritas wilayah negara yang luas yang di kawal oleh suatu angkatan bersenjata yang tangguh. Angkatan bersenjata yang di sebut “ghulam”, dalam proses pembentukannya di katakan bahwa Syah Abbas I mendapat dukungan dari dua orang Inggris yaitu Sir Antoni Sherly dan saudaranya Sir Rodet Sherly. Mereka mengajari tentara Safawi untuk membuat meriam sebagai pelengkapan negara yang modern. Kedatangan kedua orang Inggris itu oleh sebagian sejarawan di pandang sebagai upaya strategi Inggris untuk melemahkan pengaruh Turki Usmani di Eropa yang menjadi musuh besar Inggris saat itu. Bagaimanapun dengan bantuan dua orang Inggris itu Syah Abbas memiliki tentara dapat diandalkan. Hal ini terbukti sekitar 3.000 Ghulam di jadikan “Cakrabirawa” oleh Syah sendiri.
      Kemajuan lain di bidang politik yang di tunjukkan Syah Abbas, yaitu keberhasilannya merebut kembali daerah-daerah yang pernah di rebut Turki Usmani.

      2. Kemajuan di bidang Ekonomi
          Dengan angkatan perang “ghulam” Syah Abbas mampu melakukan expansi pada tahun 1598 M Abbas I menguasai Heart (Harat), Marw dan Balkh. Kemudian pada tahun 1622 M berhasil menguasai Kepulauan Hurmuz, dan pelabuhan Gumrun.
            Perkembangan pesat di sektor perdagangan terjadi setelah Abbas I menguasai kepulauan Hurmuz dan mengubah Pelabuhan Gumrun menjadi Bandar Abbas. Hal ini di karenakan Bandar ini merupakan salah satu jalur dagang antara Barat dan Timur. Dengan ini, Safawi telah memegang kunci perdagangan Internasional, khususnya di teluk Persia yang ramai, di Utara Safawi menjalin Hubungan perdagangan dengan Rusia. Perdagangan di darat dari sentral Asia melalui kota-kota penting di Safawi seperti Harat, Merf, Nighafur, Tabriz, dan Baghdad. Di bidang pertanian, Safawiyah mengalami kemajuan karena daerah Bulan Sabit yang subur (Fertile Creshen).

      3. Kemajuan di Bidang Seni Arsitektur
          Ibu kota Safawi adalah kota yang sangat indah. Pembangunan besar-besaran dilakukan Syah Abbas terhadap Ibu kotanya Isfahan.pada saat Syah Abbas I meninggal, terdapat 162 buah Masjid, 48 buah Perguruan tinggi, 1082 Losmen yang luas untuk penginapan tamu syah dan 237 unit pemandian umum. “Bangunan yang paling terkenal adalah Mesjid Luthfullah yang di bangun pada 1603 M dan selesai 1618 M, merupakan sebuah Oratorium yang di sediakan sebagai tempat peribadatan pribadi Syah. Pada sisi bagian selatan terdapat mesjid kerajaan yang mulai di bangun pada 1611 M dan selesai pada 1629 M pada sisi bagian Barat berdiri Istina Ali Qapu yang merupakan gedung pusat pemerintahan. Pada sisi bagian Utara berdiri bangunan monumental yang menjadi simbol bagi gerbang menuju bazar kerajaan dan sejumlah pertokoan, tempat pemandian, Caravansaries, mesjid dan perguruan”[10]. Syah Abbas juga membangun Istana yang megah yang di sebut Chihil Sutun atau Istana empat puluh tiang,sebuah jembatan besar di atas sungai Zende Rud dan Taman Bunga Empat Penjuru.

      4. kemajuan di bidang Filsafat dan Sains
          Pada Kerajaan Safawi Filsafat dan Sains bangkit kembali di dunia islam, dan khususnya di kalangan orang Persia yang berminat tinggi pada perkembangan kebudayaan. Perkembangan ini erat kaitannya dengan Aliran Syiah yang di tetapkan Safawi sebagai ideologi resmi Negara.
            Dalam Syiah terdapat dua golongan, yakni Akbari dan Ushuli. Mereka berbeda dalam memahami ajaran agama. Akbari cenderung berpegang teguh kepada hasil ijtihat para mujtahit syiah yang sudah mapan. Sedangkan ushu;li mengambil langsung vdari Al-qur’an dan Hadits, tanpa terikat kepada para mujtahid. Golongan Ushuli inilah yang paling berperan pada masa Syafawi. Dibidang teologi mereka mendapat dukungannya dalam mazhab Muktazilah pertemuan kedua elemen  kelompok inilah yang berperan pada terwujudnya perkembangan baru dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan di dunia Islam yang kemudian melahirkan beberapa filosuf dan Ilmuan.
            Ada dua aliran filsafat yang berkembang pada masa Safawi yaitu “aliran filsafat perifatetik” seperti yang bdikemukakan oleh Aristoteles dan Al-farabi, dan “aliran filsafat israqi” yang di bawa oleh  Suhrawardi pada abad XII.
            Beberapa tokoh filsafat yang muncul pada masa Safawi antara lain Mir Damad alias Muhammad Baqir Damad 1631 M yang dianggap sebagai guru ketiga setelah Aristoteles dan Al-farabi, dan Mulla Shadra atau Shadr Al-din Al-Syirazi. “Menurut amir Ali ia adalah seorang dialektikus yang paling cakap di zamannya”,[11] dan Baha Al-Syerazi seorang generalis Ilmu Pengetahuan.
            “Dalam pengembangan ilmu pengetahuan Syah Abbas sendiri ikut aktif dalam penelitian ilmu-ilmu tersebut, Kota Qumm pada saat itu menjadi pusat pengenbangan kebudayaan dan penyelidikan mazhab Syiah terbesar”[12].

C. Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Safawi
            Sepeninggal Abbas I, kerajaan Safawi berturut-turut dipimpin oleh enam raja, yaitu Safi Mirja (1628 - 1642 M), Abbas II (1642 – 1667 M), Sulaiman (1667 – 1694 M), Husein (1694 – 1722 M), Tahmasap II (1722 – 1732 M) dan Abbas III (1733 – 1736 M). Pada masa raja-raja tersebut kondisi kerajaan Safawi tidak menunjukkkan grafik naik dan berkembang, tapi justru memperlihatkan yang akhirnya membawa kepada kehancuran. Raja Safi Mirza (cucu Abbas I) juga menjadi penyebab kemunduran Safawi karena dia seorang raja yang lemah dan sangat kejam terhadap pembesar-pembesar kerajaan. Di lain sisi dia juga seorang pencemburu yang akhirnya mengakibatkan mundurnya kemajuan-kemajuan  yang diperoleh pemerintahan sebelumnya (Abbas I).
      Kota Qandahar lepas dari kekuasaan Safawi, diduduki oleh kerajaan Mughal yang ketika itu diperintah oleh Syah Jehan, sementara Baghdad direbut oleh kerajaan Turki Usmani. Syah Abbas II adalah raja yang suka minum-minuman keras hingga ia jatuh sakit dan meninggal. Sebagaimana Abbas II, Sulaiman juga seorang pemabuk. Ia bertindak kejam terhadap para pembesar yang dicurigainya. Akibatnya rakyat bersikap masa bodoh terhadap pemerintahan. Ia diganti oleh Syah Husein yang alim. Ia memberi kekuasaan yang besar kepada para ulama Syi’ah yang sering memaksakan pendapat penganut aliran Sunni. Sikap ini membangkitkan kemarahan golongan sunni Afghanistan,. Pemberontakan bangsa Afgan tersebut terjadi pertama kali pada tahun 1709 M di bawah pimpinan Mir Vais yang berhasil merebut wilayah Qandahar. Pemberontakan lainnya terjadi di Heart, suku Ardabil Afghanistan berhasil merebut masyad. Mir Vais di gantikan oleh Mir Mahmud dan ia dapat mempersatukan pasukannya dengan pasukan Ardabil, sehingga ia mampu merebut Afghan dari kekuasaan Safawi. Karena desakan dan ancaman dari Mir Mahmud, Syah Husein akhirnya mengakui kekuasaan Mir Mahmud dan mengangkatnya menjadi gubernur di Qandahar dengan gelar Husein Quli Khan (budak Husein).dengan pengakuan ini, Mir Mahmud makin leluasa bergerak sehingga tahun 1721 M, ia merebut Qirman dan tak lama kemudian ia menyerang Isfahan dan memaksa Syah Husein menyerah tanpa syarat. Pada tahun 1722 M Syah Husein menyerah dan Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh kemenangan.
            Salah seorang putra Husein yang bernama Tahmasap II, mendapat dukungan penuh dari suku Qazar dari Rusia, memproklamasikan dirinya sebagai raja yang sah atas Persia dengan pusat kekuasaan di kota Astarabat. Tahun 1726 M, Tahmasap II bekerjasama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan. Asyraf, pengganti Mir Mahmud, yang berkuasa di Isfahan digempur dan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan tahun 1729 M. Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan itu dengan demikian Kerajaan Safawi kembali berkuasa. Namun pada tahun 1732 M, Tahmasap II di pecat oleh Nadir Khan dan di gantikan oleh Abbas III (anak Tahmasap II) yang ketika itu masih sangat kecil. Empat tahun setelah itu 1736 M, Nadir Khan mengangkat dirinya sebagai raja menggantikan Abbas III, dengan demikian berakhirlah kekuasaan Kerajan Safawi di Persia.
            Adapun sebab-sebab kemunduran dan kehancuran Kerajaan Safawi yaitu:
1.      Adanya konflik yang berkepanjangan dengan Kerajaan Usmani berdirinya Kerajaan Safawi yang bermazhab Syiah merupakan sebuah Ancaman Bagi Kerajaan Usmani sehingga tidak pernah ada perdamaian antara kedua kerajaan besar ini.
2.      Terjadinya dekandensi moral yang melanda sebagian pemimpin kerajaan Safawi, yang juga ikut mempercepat proses kehancuran kerajaan ini. Kerajaan Sulaiman pecandu narkotik dan menyenangi kehidupan malam selama tujuh tahun tidak pernah sekalipun menempatkan diri menangani pemerintahan, begitu pula dengan Syah Husein.
3.      Pasukan Ghulam yang di bentuk Abbas I ternyata tidak memiliki semangat perjuangan yang tinggi seperti QizilBash. Hal ini di karenakan mereka tidak memiliki ketahanan mental kerena tidak di persiapkan secara terlatih dan tidak memiliki bekal rohani. Kemorosotan aspek kemiliteran ini sangat besar pengaruhnya terhadap lenyapnya ketahanan dan pertahanan kerajaan Safawi.
4.      Sering terjadinya konflik internal dalam bentuk perebutan kekuasaan di kalangan keluarga Islam.
5.      “ulama mulai meragukan otoritas Syah yang berlangsung secara turun temurun, sebagai penanggung jawab pertama atas ajaran Islam syiah”.[13]































Bagian III
PENUTUP
Kesimpulan

1)      Kerajaan Safari berasal dari sebuah Tarekat Sufi. Nama Safawi di ambil dari nama pendiri tarekat tersebut Safi Al-din Ishak Al-Ardabily.
2)      Kemajuan kerajaan Safawi terjadi pada masa pemerintahan Syah Abbas I, ia berhasil memperbaiki system politik dan perekonomian kerajaan sehingga banyak gedung-gedung yang di bangun pada masa pemerintahan. Gedung yang di bangun oleh Abbas I antara lain 162 unit Mesjid, 48 unit perguruan tinggi, 1082 unit Losmen untuk tamu syah, 237 unit pemandian umum. Bangunan yang palin terkenal adalah Mesjid Lutfullah, Istana Chihil Sutun, jemabatan besar di atas sungai Zende Rud dan Taman Bunga Empat Penjuru.
3)      Kemunduran Safawi terjadi karena setelah Abbas I tidak ada lagi pemimpin Safawi yang secakap Abbas I dalam hal kepemimpinan. Dan terjadi konflik internal di dalam Kerajaan Safawi sendiri, di tambah lagi konflik dengan Turki Usmani.
















DAFTAR PUSTAKA

Munawiyah, dkk. Sejarah Peradaban Islam, Banda Aceh : PSW IAIN Ar-Raniry
Banda Aceh, 2009.

Ira. M. Lapidus. Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian 1 dan 2, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000.

Kafrawi Ridwan (Ed). Ensiklopedi Islam jil.4. Jakarta PT. Ichtiarfanhoev, 1998.

Cyril Glase; penerjemah Ghufron. A. Mas’adi, Ensiklopedi Islam (ringkas Edisi 1).
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Ajid Tohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Islam: Melacak Akar-Akar
Sejarah Sosial, Politik dan Budaya umat Islam Ed 1-2, Jakarta: Rajawali
Pers, 200.

Musyrifa Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan ILmu Pengetahuan
            Islam, Jakarta: Kencana, 2007.

Hamka, Sejarah Umat Islam (Ed.Baru), Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2005.

Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2005.


[1] Kafrawi Ridwan, dkk. (Ed).  Ensiklope Islam, jld 4 ( jakarta: PT Ichtiar  Van  Hoeve. 1994 ). Hal. 176.
[2] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam : Melacah Akar-akar Sejarah Sosial Politik dan Budaya Umat Islam. Ed 1-2 ( Jakarta : Rajawali  Pers , 2009 ). Hal. 168.
[3] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, hal. 171.
[4] Ibid.
[5] Ibid. , h. 172.
[6] Munawiyah, dkk. Sejarah Peradaban Islam, (Banda  Aceh: PSW IAIN AR-Raniry, 2009), h.181.
[7] Badri Yatim , Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008). h.142.
[8] Busman Edyar, dkk. (Ed.), Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: pustaka asatruss, 2009). h. 152.
[9] Ibid. , h. 154.
[10] Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam bagian 1 dan 2, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000). h. 453.
[11] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban…………. h. 177.
[12] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, ( Jakarta: Kencana, 2007). h. 253.
[13] Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat…………………………… h. 465.

TAFSIR, TA’WIL, DAN TARJAMAH ('ULUMUL QUR"AN)



PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG MASALAH
Al-qur’an Al-karim adalah sumber hukum pertama bagi umat Muhammad, kebahagian mereka tergantung kepada kemampuan memahami maknanya. Pengetahuan rahasia-rahasianya dan pengalaman-pengalaman  orang terdahulu yang terkandung  didalamnya. Kemampuan setiap orang dalam memahami  Al Quran sangatlah berbeda, sebab umat Muhammad tidak semuanya dari Arab, tapi ada juga yang non Arab, sedangkan Al Quran menggunakan bahasa Arab.
Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna laahirnya yang bersifat global. Sedangkan kalangan cendikawan dan terpelajar dapat memahami dan menyikapi makna-maknanya secara menarik maka, tidak mengherankan jika Al Quran mendapatkan perhatian besar dari umat Muhammad melalui pengkajian intensif terutama dalam menafsirkan kata-kata yang gharib dan menakwilkan suatu redaksi kalimat serta penerjemahan bahasa Al Quran.

  1. RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian Tafsir, Takwil dan Terjemah?
2.      Apa saja pembagian tafsir menurut sumbernya?





PEMBAHASAN
A.    TAFSIR
1.      Pengertian Tafsir
Tafsir menurut bahasa diambil dari kata Fassara-Yufassiru yang berarti menjelaskan atau dari kata Fasrun yang berarti membuka, membedah sesuatu yang rumit.[1] Jika kata Tafsir dinyatakan dengan kata “At Tafsir” berarti menyikapkan suatu lafadz yang musykil.[2]  Dalam AL Quran dinyatakan:
وَلَايَأ تُو نك بمثل الا جئنتك بالحق واحسن تفسيراُُ
“tidaklah mereka datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil, melainkan kami datang kepadamu sesuatu yang benar dan paling baik penjelasannya” (Al Furqan: 33)
Berkata Ibnu Abbas tentang firman Allah (واحسن تفسيرا) artinya lebih baik penjelasannya. Jadi kata tafsr bermakna penjelasan ataupun keterangan.
Abu Hayyan mendefinisikan Tafsir sebagai, “Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz Al Quran, indikator-indikatornya, masalah hukum-hukumnya baik yang independen maupun yang berkaitan dengan yang lain, serta tentang makna-maknanya yang berkaitan dengan kondisi struktur lafadz yang melengkapinya”
Kemudian Abu Hayyan menjelaskan unsur-unsur definisi tersebut, yaitu “ ilmu adalah kata jenis yang meliputi segala macam ilmu. ” Yang membahas cara mengucapkan lafadz-lafadz Al Quran , ini mengacu kepada ilmu Qiraat. “Indikator-indikatornya” adalah pengertian-pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz-lafadz itu, ini mengacu kepada ilmu bahasa yang dalam ilmu Tafsir ini. Kata-kata “Hukum-hukumnya baik yang independen maupun yang berkaitan dengan lainnya”, ini meliputi ilmu Saraf, ilmu ‘Irab, ilmu Bayan, dan ilmu Badi’. Kata-kata “makna-maknanya yang berkaitan dengan kondisi struktur lafadz yang melengkapinya,” meliputi pengertiannya yang hakiki dan majazi, suatu struktur kalimat terkadang menurut lahirnya menghendaki suatu makna tertentu tetapi terdapat penghalang, sehingga susunan kalimat tersebut mesti dibawa ke makna yang bukan makna lahir, yaitu majaz. Dan kata-kata “Hal-hal yang melengkapinya”, mencakup pengetahuan tentang nasakh, Asbab An Nuzul, kisah-kisah dan lain sebagainya.
Menurut Adzarkasyi, Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, menerangkan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.[3]
2.      Metode Tafsir
Metode tafssir adalah suatu cara untuk memahami makna isi kandungan Al Quran secara mendalam dari berbagai aspek, sehingga bisa memahami Al Quran dengan benar.
            Macam-macam metode tafsir:
Dari beberapa penafsiran Al Quran yang berkembang dikalangan ahli Tafsir, para ulama menentukan bahwa ada empat macam metode yang digunakan oleh para mufassir dalam mentafsirkan ayat-ayat Al Quran.


a)      Metode Tafsir Tahlili
Metode Tafsir Tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung didalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat dalam mushaf Utsmani.
Metode Tafsir Tahlili ini adalah metode Tafsir yang tertua dibandingkan metode tafsir yang lainnya. Metode tafsir ini telah ada sejak masa para sahabat Nabi, sejak zaman klasik dan zaman pertengahan. Pada mulanya tafsir Tahlili terdiri atas beberapa bagian ayat saja, kadang kala mencakup penjelasan mengenai kosa katanya. dalam perkembangan selanjutnya, para ahli tafsir merasakan kebutuhan untuk menafsirkan AL Quran seluruhnya.
Pada akhir abad ke tiga dan awal abad ke empat H atau abad 10 M, ahli-ahli tafsir seperti Ibnu Majah, At Thabari mulai mengkaji keseluruhan isi Al Quran dan membuat model-model tafsir yang maju dengan metode ini[4].
Diantara kitab-kitab tafsir yang menggunakan mertode ini ialah kitab tafsir karya Fakhruddin Ar Razi, dan tafsir Ibnu Jarir At Thabari.
Namun metode ini juga mempunyai beberapa kelemahan yaitu: metode ini sering digunakan mufassir sebagai alat untuk melegistimasi pendapat-pendapatnya dengan dali-dalil Al-Quran. Sehingga nilai objektifitas penafsiran menjadi berkurang.
Sebagai metode yang luas, maka corak-corak penafsiran yang menggunakan metode ini juga banyak. Para Ulama kemudian membagi corak penafsiran ini kepada tujuh macam: 1. Tafsir bil Matsur, 2. Tafsir bil Rayi, 3. Tafsir Fiqh, 4. Tafsir Sufi, 5. Tafsir AL Falsafi, 6. Tafsir Ilmi, 7. Tafsir Adabi Ijtimaie.

b)     Metode Tafsir Ijmali
Metode Ijmali adalah metode penafsiran terhadap ayat-ayat Al Quran dengan cara singkat, padat dan global. Dengan metode ini mufassir menjelaskan makna ayat-ayat Al Quran secara global, sistematikanya mengikuti urutan surah-surah Al Quran, sehingga makna-maknanya dapat saling berhubungan.
Dalam menafsirkan ayat Al Quran dengan metode ijmali ini para mufassir ini juga meneliti, mengkaji, dan menyajikan sabab nuzul atau peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat, dengan cara meneliti Hadits-hadits yang berhubungan dengannya.
Keistimewaan metode ini antara lain ialah: mufassir menafsirkan ayat-ayat Al Quran apa adanya tanpa menghubungkan kepada hal-hal lain di luar keagungan arti ayat tersebut. Uraian penafsiran tehadap ayat-ayat al Quran mudah dipahami dan dimengerti, tidak bertele-tele dan tidak berbelit-belit. Maksud yang dikandung oleh suatu ayat dapat ditangkap dengan mudah dan cepat. Objektifitas penafsiran tinggi karena mufassir tidak banyak menggunakan improvisasi[5].
Sedangkan kelemahan metode ini ialah: penafsiran ayat-ayat al-quran sangat sempit dan terbatas. Rahasia-rahasia dan hikmah yang terkandung  di dalam ayat tidak terungkap banyak. Pembahasan terhadap pokok-pokok masalah tidak tuntas.
Kitap tafsir yang di susun dengan metode Ijmali antara lain : Tafsir Al-quranulkarim, karya Muhammad Farid Wajdi, seorang mufassir kontemporer asal Mesir. Kitab al-Wasith, karya Team Majmaul Buhuts al Islamiyah. Tafsir al Jalalain, karya Jalaluddin Suyuti dan Jalaluddin al Mahalli.
c)      Metode Muqarran
Metode Muqarran ialah suatu metode tafsir dengan menggunakan perbandingan antara satu dengan lainnya. Misalnya, seperti filsafat, hukum dan sebagainya.
d)     Metode Madlui
Metode Madlui ialah suatu metode tafsir dengan menggunakan pilihan topik-topik al-Quran. Metode tematik yang memilih persoalan-persoalan social politik, social ekonomi dan sebagainya. Awalnya untuk kepentingan penelitian tetapi kemudian berkembang menjadi jenis tafsir kontemporer. Maka Ibnu Qayyim menulis At Tibyan fie Aqsamil Quran, Abu Ubaidah menulis Majazul Quran, Ar Raghib al Isfahany mengarang kitab Mufradaatul Quran, Abu Hasan Al Wahidi mengarang Asbabun Nuzul, Abu Ja’far An Nuhas mengarang An-Nasikh wal Mansukh, Rasyid Ridha, dengan Al Wahyul-Muhammadie dan Qurais Syihab, Wawasan al Quran[6].
Tafsir menurut sumbernya
Tafsir menurut sumbernya disebut dengan Tafsir bil-Matsur atau Tafsir Riwayat. Tafsir Riwayat adalah suatu corak penafsiran al Quran secara tekstual dengan menjadikan ayat atau Hadits Nabi serta pendapat para sahabat dan tabiin sebagai landasan utama dalam penafsiran. Al Matsur secara harfiyah berarti penafsiran dengan menggunakan riwayat sebagai sumber pokoknya. Karena itu tafsir ini dinamakan dengan Tafsir bil Riwayah.
Ditinjau dari sumbernya, penafsiran seperti ini terbagi kepada empat jenis, yaitu:

1.      Tafsir Al-qur’an dengan Al-qur’an
Ayat-ayat Al Quran menurut para ahli tafsir sebagiannya itu memberikan penafsiran terhadap ayat yang lain. Tafsir semacam ini paling kuat, sebab ayat yang ditafsirkan bersifat Qathiyul Wurud (pemindahannya mutlak).
Ayat alQuran yang dijelaskan secara umum pada suatu tempat dijelaskan pada tempat lain secara terperinci. Bagian yang belum dijelaskan pada satu tempat dijelaskan pada tempat lain. Ayat yang tidak terbatas pesan dan pengertiannya (mutlak) pada suatu surat menjadi terikat pada surat lain (mukayyat). Ayat yang bersifat ‘am (umuum) pada suatu konteks ditaksiskan pada konteks lain.
Diantara ayat-ayat al Quran yang dipandang menafsirkan ayat al Quran yang lainnya adalah sebagai berikut:
Contoh  penafsiran surah al Fatihah ayat 6 yang ditafsirkan oleh ayat 7, kemudian surta al Fatihah ayat yang ditafsirkan dengan surah An Nisa’ ayat 68-69.[7]
2.      Tafsir Al-Qur’an dengan As-sunnah
Penafsiran al Quran dengan as Sunnah didasarkan atas firman Allah dalam surah An Nahl ayat 43-44 yang artinya:
Dan tidak adalah yang kami utus sebelummu selain manusia lelaki kepada mereka kami beri wahyu. Maka tanyakanlah kepada ahli risalah, jika kamu tidak tahu. (kami utus mereka) dengan tanda-tanda yang jelas dan kitab-kitab kenabian yang samar. Dan kami turunkan kepadamu risalah ini supaya kau jelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka renungkan.”
Contoh penafsiran al Quran dengan Sunnah antara lain sebagai berikut: Hamka mengutip riwayat dari Abdul bin Humaid dari ar Rabi’ bin Anas bahwa suatu ketika orng bertanya kepada Rasulullah saw. tentang siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat.
عير المغضوب عليهم ولا الضالين
 Lalu Rasulullah menjawab “yang dimaksud dengan orang-orang yang dimurkai ialah Yahudi dan yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat adalah Nasrani[8]
3.      Tafsir dengan perkataan sahabat
Misalnya tafsir QS. An-Nashr :
اذا جاء نصر الله و الفتح
Contoh Tafsir sahabat : Riawayat dari Bukhari dalam Shahihnya dari Zaid bin Zubair dari Ibnu Abbas ia berkata: Umar telah memasukkan saya ke tengah-tengah tokoh-tokoh Badar. Dan tampaknya di antara mereka ada yang tidak suka dengan tindakan Umarmemasukkan saya ke tengah-tengah mereka. Kata seorang di antara mereka. Kata seorang di antara mereka “mengapa anak ini di sertakan dalam majelis ini, sedangkan kami juga mempunyai anak kecil yang sseumuran dia?” lalu Umar menjawab : “Dia adalah orang yang telah kalian kenal (disamping pandai dan cerdas dia adalah keluarga Rasulullah)”.
“Pada suatu hari saya diminta ddatang oleh Umar dalam suatu majelis bersama mereka. Tampaknya Umar memanggil saya dalam majelis itu untuk memperlihatkan sesuatu pada mereka. Kata Umar kepada mereka : “apa pendapat  kalian tentang makna dari ayat ini : “ Apabila telah dating pertolongan Allah dan kemenangan (Idzaa jaaa nasrullaahi wal fathu QS. 100 : 1)? Sebagian di antara mereka menjawab : “Kita diperintahkan untuk bertahmid kepada Allah dan beristigfar kepada Allah bila telah memenangkan kita. Kemudian mereka berbondong-bondong masuk Islam. Sedangkan yang lain diam saja. Kemudian Umar meminta kepada saya untuk menjelaskan”Apa serupa itu juga pendapatmu,hai Ibnu Abbas ?” Aku menjawab “tidak!” ia berkata :”Kalau begitu bagaimana pendapatmu ?” Aku berkata :” kepadanya. Artinya Allah mengatakan kepada Nabi Muhammad saw apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong ( QS.100 : 2 ), maka ini adalah tanda bagi ajalmu. Oleh sebab itu, hendaklah kamu melaksanakan isi dan makna dari : Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah  ampunan kepadaNya. Sesungguhnya Dia Maha Pemberi taubat (QS. An-Nashr 100 : 3 )”, kemudian Umar berkata :” Sesungguhnya aku tidak melihat penafsirannya selain dari apa yang kamu ucapkan tadi”[9].
4.      Tafsir Tabi’in
Tafsir dengan pernyatan Tabi’in yakni memindahkan penjelasan yang di sampaikan secara lisan maupun tulisan oleh para Tabi’in dan di riwayatkan tarus menerus oleh para mufassir. Perkembangan tafsir ini dapat dibagi menjadi : periode lisan,ketika penafsiran dari Nabi dan para sahabat disebarluaskan secara riwayat dan periode tulisan, ketika riwayat-riwayat sebelumnya tersebar luas secara lisan mulai dibukukan. Kedudukan tafsir jenis ini tidak dapat disamakan dengan jenis tafsir yang disebutkan diatas, karena selain tidak marfu’ tafsir jenis ini mendekati penafsiran dengan rasio sehingga dapat disebut tafsir bil ra’yi.
Tafsir menurut coraknya
Tafsir ditinjau dari coraknya terdapat tujuh macam :
1.      Tafsir al-matsur
2.      Tafsir bil Ra’yi ( Rasional)
Tafsir Rasional adalah tafsir yang didasarkan pada rasio (akal), atau dinamakna juga dengan tafsir bil ijtihad yaitu tafsir yang didasarkan pada pendapat pribadi mufassir. Meskipun para mufassir melakukan penafsiran berdasarkan akal fikiran, namun ia tidak bebas mutlak.
3.      Tafsir Al-fiqh (Tafsir hukum)
Tafsir Al-fiqh adalah tafsir Yang memfokuskan perhatian kepada aspek hukum fiqh, karena itu para mufassir dalam menafsirkan Al-qur’an selalu dikaitkan dengan persoalan hukum islam.
4.      Tafsir sufi
Tafsir sufi adalah  tafsir yang di tulis oleh para sufi atau tafsir yang mengkhususkan pembahasan masalah tasawuf[10].
5.      Tafsir al-Falsafi (filsafat)
Tafsir al fasafi adalah tafsir yang banyak membahas tentang persoalan filsafat
6.      Tafsir ilmi (keilmuan)
Tafsir keilmuan adalah penafsiran al-qur’an tentang berbagai hal yang berhubungan dengan bidang ilmu pengetahuan.
7.      Tafsir adabul ijtimai’ie (sosiokultural)
Tafsir sosiokuitural penafsirtan ayat yang menjelaskan tentang perubahan sosial-budaya yang terjadi di dalam masyarakat dalam perspektif Al-qur’an.
B.     Takwil
Takwil bearasal dari kata “aul” yang berarti kembali[11], seolah-olah memalingkan ayat kepada makna, yang menurut Abu Thalaib berkata: “ takwil ialah menerangkan bathin lafaz yaitu mengungkapkan tentang hakikat maksudnya, seperti firman Allah(artinya): “ sesungguhnya Rabb-mu benar-benar mengawasi”. Takwilnya ialah peringatan bagi orang yang mengabaikan perintah Allah.[12]
C.    Perbedaan tafsir dan Takwil
Para ulama berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua kata tersebut.
·         Tafsir adalah makna zahir dari ayat al-qur’an sedangkan takwil adalah menguatkan sebagian makna, dari makna yang tercakup dari pengertian ayat tersebut.
·         Tafsir adalah pengartian lahiriyah dari Al Quran yang pengertiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehenddaki Allah SWT, sedangkan takwil ialah pengertian pengertian tersirat yang diistimbathkan dari ayat-ayat al Quran yang memerlukan perenungan dan pemikiran, serta merupakan sarana pembuka tabir.
·         Tafsir menerangkan makna lafadz yang tak menerima dari satu arti, sedangkan takwil adalah menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafadz yang dapat menerima banyak makna karena didukung oleh dalil.
·         Tafsir menetapkan apa yang dikehendaki ayat dan menerapkan apa yang dikehendaki Allah, sedangkan takwil adalah menyeleksi salah stau makna yang diterima ayat tanpa meyakinkan itulah yang dikehendaki Allah.
·         Tafsir menerangkan makna lafadz, baik berupa hakikat atau majaz, sedangkan takwil adalah menjelaskan batin lafadznya saja[13].
D.    Terjemah
Terjemah menurut bahasa berarti salinan, menyalin dan memindahkan, sedangkan menurut istilah terjemah  al Quran artinya memindahkan alQuran  pada bahasa lain yang bukan bahasa arab dan mencetak terjemah ini ke dalam beberapa naskah agar dapat dimengerti oleh orang yang tidak bisa berbahasa arab sehingga ia bisa memahami maksud kitap Allah dengan perantaraan terjemah[14]. Kata terjemah digunakan pada dua arti:
    1. Terjemah harfiah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam lafaz-Lafaz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.
    2. Terjemah tafsiriah atau terjemah maknawiah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.
Mereka yang mempunyai pengetahuan tentang bahasa-bahasa tentu mengetahui bahwa terjemah harfiyah dengan pengertian sebagaimana di atas tidak mungkin dapat dicapai dengan baik jika konteks bahasa asli dan cakupan semua maknanya tetap dipertahankan. Sebab karekteristik setiap bahasa berbeda satu dengan yang lain dalam hal tertip bagian-bagian kalimatnya. Sebagai contoh, jumlah fi’liyah (kalimat verbal) dalam bahassa arab dimulai dengan “fi’il” (kata kerja yang berfungsi sebagai predikat) kemudian fa’il (subjek), baik dalam kalimat tanya (istifham) maupun lainya[15].
             





                                                                                                  


KESIMPULAN
  1. Tafsir adalah Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz Al Quran, indikator-indikatornya, masalah hukum-hukumnya baik yang independen maupun yang berkaitan dengan yang lain, serta tentang makna-maknanya yang berkaitan dengan kondisi struktur lafadz yang melengkapinya,
Takwil ialah menerangkan bathin lafaz yaitu mengungkapkan tentang hakikat maksudnya.
Terjemah  al Quran artinya memindahkan alQuran  pada bahasa lain yang bukan bahasa arab dan mencetak terjemah ini ke dalam beberapa naskah agar dapat dimengerti oleh orang yang tidak bisa berbahasa arab sehingga ia bisa memahami maksud kitap Allah dengan perantaraan terjemah.
  1. Pembagian tafsir menurut sumbernya di bagi empat
·         Tafsir al-qur’an dengan Al-qur’an
·         Tafsir al-qur’an dengan assunnah
·         Tafsir dengan pernyataan sahabat
·         Tafsir Tabi’in











DAFTAR PUSTAKA
            Muhammad Ali Ash-Shabuuny, studi ilmu Al-qur’an, Bandung : CV Pustaka setia, 1991
            Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar studi ilmu Al-qur’an, Jakarta Timur : pustaka al-kausar, 2006
            Drs. Muhammad Chirzin, ulumul qur’an, Yogyakarta: PT. Amanah bunda sejahtera, 1998
            Drs. Salahuddin Hamid, studi ulumul qur’an, Jakarta Timur : PT. intimedia cipta Nusantara, 2002
            Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualita Al-qur’an, Yogyakarta : LKIS Yogyakarta, 1993




[1] Salahuddin Hamid, Studi Ulumul Quran, (Jakarta Timur: PT Inti Media Cita Nusantara, 2002), hlm. 322
[2] .Aunur Rafiq El Mazni(penerjemah), Pengantar Studi Ulumul Quran, (Jakarta Timur: Pustaka  Al Kausar, 2006), hlm.408
[3] .Aunur Rafiq El Mazni(penerjemah), Pengantar Studi Ulumul Quran, (Jakarta Timur: Pustaka  Al Kausar, 2006), hlm.409
[4] Salahuddin Hamid, study ilmu Qur’an, (Jakarta timur: PT.Intimedia Cipta Nusantara, 2002), hlm 325
[5] Salahuddin Hamid, study ilmu Qur’an, (Jakarta timur: PT.Intimedia Cipta Nusantara, 2002), hlm 326
[6] Salahuddin Hamid, study ilmu Qur’an, (Jakarta timur: PT.Intimedia Cipta Nusantara, 2002), hlm 327
[7] Drs. Muh.chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, ( Yogyakarta: PT dhana bakti Prima yasa, 2003), hlm. 150-152
[8] Salahuddin Hamid, study ilmu Qur’an, (Jakarta timur: PT.Intimedia Cipta Nusantara, 2002), hlm 330
[9] Drs. Muh.chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, ( Yogyakarta: PT dhana bakti Prima yasa, 2003), hlm. 155
[10]  Salahuddin Hamid, study ilmu Qur’an, (Jakarta timur: PT.Intimedia Cipta Nusantara, 2002), hlm 332
[11] Drs. Aminuddin (penerjemah), studi ilmu Al-qur’an,(Bandung: Cv pustaka setia, 1998), hlm 192
[12][12] Dr zainal abidin, seluk beluk al-qur’an,(Jakarta:P.T, Rineka cipta 1992), hlm 192
[13] Aunur Rafiq El Mazni(penerjemah), Pengantar Studi Ulumul Quran, (Jakarta Timur: Pustaka  Al Kausar, 2006), hlm.412
[14] Drs. Aminuddin (penerjemah),  studi ilmu qur’an, ( Bandung: Cv. Pustaka setia, 1998) hlm 331
[15] Drs. Muzakkir , ulumul qur’an, (Jakarta: Pt. mitra kerjaya Indonesia, 2003), hlm 443

MENCIPTAKAN KELAS KONDUSIF DENGAN ANAK YANG HIPERAKTIF

Nurul Azizah nama saya, saya seorang guru yang mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam kelas 1 di sebuah sekolah dasar swasta di Kota...