Menurut penelitian Van Langen, ada seorang ulama
dari tanah jawa sekembalinya menunaikan ibadah haji di Mekkah telah singgah di
Aceh, yaitu pedir, mengajar ilmu agama dan menetap di sana. Hasil pendidikan
yang di kembangkannya mendapat pujian kemana-mana, dan Sulthan sendiripun
menaruh simpati kepadanya. Diapun di beri kuasa pula oleh Sulthan untuk menjadi
kadhi(wali hakim) di sekitar wilayah masjid raya Pidie. Setelah beberapa waktu
berada di sana, diapun kawin dengan seorang wanita terkemuka di Klibeut dan
tinggal di sana. Karena itu pula Ulama ini di biasakan di panggil oleh penduduk
dengan sebutan Teungku Pakeh Klibut.
Teungku Pakeh Klibut
mempunyai seorang putra bernama Teungku Ubit setelah memiliki ilmu pengetahuan
agama atas pendidikannya ditugaskan oleh sang ayah untuk mengajar/ menjadi guru
mengaji di Tiro Cumbok. Tidak beberapa lama Teungku Ubet kawinlah di Tiro
Cumbok dan menetap di sana.
Teungku Sindri adalah
ulama yang telah menunaikan hajinya ke Mekkah dan menurut Sumber di atas
Teungku Sindri ini berasal dari Bugis. Teungku Aceh Klibut mempunyai seorang
analk perempuan, saudara Teungku Ubit dan dikawinkanlah dengan Teungku Sindri
ini untuk menggantikan jabatan kadhinya.
Dengan perkawinan Teungku
Sindri (Bugis) dengan putri Teungku Pakeh Klibut(jawa), lahirlah seorang
laki-laki dan diberi nama Mat Saman. Pemuda Mat Saman ini selain belajar agama
dari kedua orang tuanya, dia juga mengikuti pendidikan agama dari Tgk Chik Mat
Amin dari dayah Tjut di Tiro, Keumangan. Karena ketekunannya belajar dia
menjadi santri yang cerdas dan kemudian setelah memperoleh ilmu agama yang
tinggi di kenal dengan Teungku Chik di Tiro, jadi nama Tiro adalah nama Tempat
ia menuntut ilmu Agama. Untuk di ingat bahwa “Teungku Chik di Tiro
adalah orang Aceh yang di lahirkan dengan membawa darah Bugis dan jawa”.
Mungkin karena pengaruh
ibunya atau karena gelora darah jawa di dalam tubuhnya yang telah menolong
Teungku Mat Saman untuk memilih sang isteri dari keturunan jawa di Garot (Garot
Pidie). Tetapi karena tidak memperoleh keturunan diapun kawin lagi dengan anak
perempuan Teungku Ubit bin Teungku Pakeh Klibut keturunan Bugis di Tiro Cumbok.
Dari perkawinannya ini Teungku Mat Saman memperoleh tiga orang anak: (1)
Teungku Mat Amin. (2) Teungku Mahidin (Mayed). (3) Teungku Mat Amin Tiro.
Menurut profesor Dr.
Teungku Ibrahim Alfian : Ulama Besar Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman
mempunyai 4 orang putera. Semua syahid, yaitu Tgk. Mat Amin 1896, Tgk. Di
Teungkop 1899, Tgk. Di Bukit 21 mei 1910, Tgk. Mahidin (Mayed Pen) 5 September
1910.
Teungku Mayed di Tiro,
anak nomor dua dari Teungku Chik di Tiro ( Teungku Muhammad Saman di Tiro)
mempunyai beberapa orang anak antara lain Tgk. Umar Tiro dan seorang Anak
perempuan. Anak perempuan inilah yang menjadi ibu dari Hasan Muhammad Tiro.
Jadi Hasan Muhammad Tiro adalah cucu dari seorang Teungku Chik di Tiro.
Setelah mendapat laporan
pada tanggal 27 Desember 1973 dalam pertempuran di Lamboe “ Aceh Besar, di mana
rakyat Pidie ikut mengirimkan pasukannya
sejumlah 1500 orang lengkap dengan persenjataannya, Rakyat Garotpun ikut aktif
mengirimkan bantuan untuk membangun kembali benteng Kuta Asan Pidie untuk
menangkis pendaratan Belanda di Aceh Besar di bantu oleh pasukan dari pasukan
dari Pidie. Maka Van Swietenpun memerintahkan suatu Eskader kapal perangnya
yang terdiri dari “Zeeland” “Metalen Kruis”, “Citadel” dan “Anwerpen”, “Borneo”
dan “Banda” bertolak ke Pidie untuk menghancurkan pertahanan rakyat di situ.
Tanggal 28 Desember kapal-kapal itu berlayar di pidie dan Besoknya tanggal 29
Desember 1973 sudah berada di Kuala Pidie.
Pada tanggal 30 Desember
1973, dengan serta merta berdetumlah suara letusan meriam dari kapal-kapal itu
menuju ke rakyat banyak (pasar-pasar, kedai-kedai, rumah-rumah penduduk
kampung) dan kemana saja secara membabi buta, tanpa mempunyai tujuan tertentu.
Tanggal 31 Desember 1973 Belandapun mengadakan percobaan pendaratan. Sejumlah
besar tentara laut (marinier) dikerahkan turun dalam perahu lengkap dengan
senjata. Dengan diam-diam pasukan Pidie telah mengendap menanti kedatangan
musuh tatkala mereka hendak mmenginjak kakinya ketanah, merekapun di sambut
dengan serangan oleh pihak Aceh. Seharian terjadi pertempuran dan pada hari itu
pula silih berganti perahu perang balik kekapal mengantar korban dan
mendatangkan penggantinya. Akhirnya setelah petang hari Belanda mengambil
kesimpulan tidak mungkin mematahkan perlawanan di situ. Mereka melihat bahwa
dalam sementra itu menderu saja bala bantuan dari pedalaman. Akhirnya
Belandapun berusaha menyelamatkan diri, mengangkut tentara lautnya yang masih
bisa di selamatkan dan seterusnya bertolak menuju Ulehleh. Diperoleh petunjuk
bahwa semenjak inipun Tgk. Chik di Tiro telah aktif mengambil bagian memimpin
rakyat daripedalaman ikut bertempur melawan Belanda baik di Pidie maupun di
Aceh Besar.
Sulthan Mahmud Syah
meninggal dunia karena serangan kolera setelah istana Sulthan di duduki Belanda
pada tanggal 24 Januari 1874. tanggal meninggalnya perkiraan antara tanggal 28
Januari 1874 hal ini terkait dengan informasi yang di peroleh oleh Belanda dan
selanjutnya di laporkan kepada Gubernur Jendral di Jakarta dengan kawat tanggal
28Januari 1874 bahwa di peroleh khabar bahwa Sulthan Mahmud Syah telah meninggal
Dunia oleh kolera. Sehubungan dengan itu di kemukakannya pendapat sebagai
berikut :
“Jika berita
kematian Sulthan benar keadaan akan lebih mudah, tapi benar tau tidakpun saya
berpendapat bahwa tidaklah tepat lagi untuk mengikat perjanjian dengan Sulthan
ini atau dengan Sulthan yang lain, atas alasan bahwa mereka telah membunuh
utusan kita. Menguasai sendiri adalah lebih tepat “ eigen beheer is better”
Tentang saat meninggalnya Sulthan Mahmud Syah prof. Dr. T. Ibrahim Alfian
dalam bukunya wajah Aceh dalam lintasan Sejarah, hal 90, mengemukakan sebagai
berikut:
“Setelah
dalam dapat di rebut oleh Belanda pada tanggal 24 Januari 1874. Belanda
menghentikan dahulu agresinya dengan harapan dapat tercapai persetujuan semacam
traktat Siak dengan Sulthan Aceh. Pada tanggal 29 Januari 1874 Sulthan Mahmud
Syah Mangkat di pagar Ayer terlilit penyakit koera dan di makamkan di Cot Bada.
Pemimpin-pemimpin Aceh tetap menerusakan perklawanan terhadap Belanda”.
Bagian yang penting dari
segi peraturan politik, yang diselenggarakan dengan cepat oleh pihak Aceh yaitu
menggantikan Sulthan yang telah meningal. Para panglima sagi yaitu Pangliuma
Polim dari 22 Mukim, Tjut Lamreung dari 26 Mukim dan Tjut Banta dari 25 Mukim telah
bulat mufakat memilih Sulthan
(Twk. Muhammad Daud Syah, Pen.) yang masih berumur antara enam dan tujuh tahun naik tahta dengan pangkuan dewan mangkabumi (pemangku). Tuanku Hasyim yang di tunjuk sebagai ketua dewan mangkabumi (pemangku) adalah merupakan pejabat yang berwenang bertindak atas nama Sulthan.
(Twk. Muhammad Daud Syah, Pen.) yang masih berumur antara enam dan tujuh tahun naik tahta dengan pangkuan dewan mangkabumi (pemangku). Tuanku Hasyim yang di tunjuk sebagai ketua dewan mangkabumi (pemangku) adalah merupakan pejabat yang berwenang bertindak atas nama Sulthan.
Mengenai umur Twk.
Muhammad Daud pada saat di angkat menjadi Sulthan atau pada waktu Sulthan
Mahmud meninggal dunia ada tiga versi: Versi pertama: Berumur 4-5 tahun, Versi
kedua : Berumur 6-7 tahun, Versi ketiga 9 tahun ( berdasarkan laporan dariu Van
Switen kepada Gubernur Jenderal Laudon tanggal 10 Februari 1874 yang berbunyi
sebagai berikut: Indonesianya:” tak seorangpun yang datang Raja-raja menjauhkan
diri dan mereka telah memilih tuanku Daud yang berusia 9 tahun, cucu almarhum
Sulthan Mansyur Syah untuk menjadi Sulthan dengan di pangku oleh 4 orang wali.
Mengenai penobatan Twk.
Muhammad Daud menjadi Sulthan menurut Prof. Dr. T. Ibrahim Alfian adalah pada tahun 1878 ( empat tahun setelah
Sulthan Mahmud Syah meninggal dunia. Pen) sebagaimana di ceritakannya dalam buku
wajah Aceh Dalam lintasan sejarah , hal 98 yang berbunyi sebagai berikut:
“ Untuk menunjukkan pada
dunia luar, bahwa Aceh masih mempunyai pemerintahan, maka sesuai dengan hukum
adat pembesar-pembesar Aceh menobatkan tuanku
Muhammad Daud Syah sebagai Sulthan yang menetap di Masjid Indrapuri pada
tahun 1878. selama Twk Muhammad Daud
Masih Belum dewasa pemerintahan di jalankan oleh Twk Hasyim seorang yang sangat
taat kepada agama sebagai mangkubumi”.
Dalam bulan Januari 1876,
raja Pidie Teungku Pakeh dalam telah di hadapkan dalam suatu fait accompli. Dia
lebih setahun berada di Aceh Besar membantu perjuangan di pihak Aceh,
sepulangnya di pidie, dari kapal perang belanda yang mengurung pantai itu di
sampaikan kepadanya kata dua mengakui
kedaulatan Belanda atau dibombardemen kembali. Teungku Pakeh Dalam memberi tahu
bahwa rakyat sudah benci Belanda karena
pemboman Kuta Asan dan penyerangan Belanda, di Akhir Desember 1873.Belanda
bersedia mengganti kerugian rakyat, tapi dengan lain perktaan sebetulnya
Belanda berusaha melunakkan Twe Teungku Pakeh Dalam dengan menyumbangnnya uang
Sebesar f. 50.000. Padea Tanggal 28 Februari 1876 Teungku Pakeh dalam meenandatangani
pernyataan mengaku takluk kepada Belanda dengan mengangkat sumpah, di samping
mengangkat sumpah Tgk. Pakeh Dalam harus pula membenarkan Belanda mendirikan
bentengnya di Pidie. Pada tanggal 4 Juni 1876 Belanda mendaratkan pasukannya
dan menempati benteng Kuta Asan di bawah komando mayor H.R.F van Teyn.
Rakyat menjadi amat marah
dengan pendaratan tentara Belanda yang
kemudian menduduki benteng Kuta Asan di Pidie pada tanggal 10 Juni 1876, terus
melakukan perlawanan dan pada Bulan April dan Mei 1878 benteng itu di serbu
oleh rakyat di bawah pimpinan Ulama Tiro, demikianlah pertempuran berkecamuk di
mana-mana dalam wilayah Luhak Pidie dan berlangsung puluhan tahun lamanya.
Dalam bulan Juni 1877
Habib datang ke Garot (Pidie) menemui pahlawan Ulanma Tgk Muhammad Saman di Tiro,
dan Iman Long Bata, yang juga datang kesana, untuk bermusyawarah mengenai
strategi perjuangan melawan Belanda hasil pertemuan itu adalah medan perang
Pidie dipergiat, gerilya di Aceh Besar harus lebih di aktifkan, teerutama
penyerangan ke ibu kota (Kutaraja) dan pos-pos Belanda lainnta .sesuai dengan
rencana Tgk. Chik di Tiro berangkat ke Aceh Besar dan mulai memegang peran
aktif di medan ;perang sekitar pemimpin perang sabil. Terutama dengan di dukung
murid-muridnya baik yang sudah berada di Aceh Besar, maupun yang terus
membanjir dari Garot, Tiro dan dari bagian lain dari Luhak Pidie.
Dalam bulan Maret1878
Habib Abdurrahman menyerang lam Karak. Dua bulan kemudian di adakan musyawarah
di antara pemimpin pemimpin Aceh betrtempat di Cot Bada untuk membuat rencana
menyerang pertahanan Belanda. Pada bulan Juni 1878 Habib Abdurrahman bersama
lebih kurang 2000 orang pasukan menyusup melalui jalan gunung dan menduduki
Leupueng serta lembah Gle Taron dan bersama T.Nanta menguasai Lhoong dan
menyerang pos-pos Belanda di Krueng Raba, Bukit seuboin dan Peukan Bada. Kemudian
Habib beserta pasukan-pasukannya dapat di pukul mundur. Ia mengadakan hubungan
dengan Tgk. Chik di Tiro yang sedang menggempur Belanda di Sigli, dan kemudian
Habib mengambil posisi di Montasik untuk
mempersiapkan penyerangan baru di Mukim
IV Aceh Besar.
Tekanan dari
pejuang-pejuang Aceh berja;an terus. Hal ini menyebabkan Belkanda mengirimkan
kekuatannya kebagian Selatan Aceh Besar dan Aceh Barat pada Februari dan Maret
1878. Begitu juga karena adanya serangan yang terus menerus dari Tgk. Chik di
Tiro terhadap pos-pos Belanda di Gigieng Pidie, maka dalam Bulan April dan Mei
1878, Belanda mengirimkan pasukan-pasukannya ke sana di bawah pimpinan Mayor
W.W. Coblijn.
Peristiwa penyerangan
Mukim VI, Aceh Besar pada tanggal 16 Juli 1878 oleh Pasukan Habib Abdurrahman
di bawah pimpinan Nyak Abu , menyebabkan Belanda mengadakan kembali
agresinya di Aceh Besar. Van der Heijden
membersihkan daerah-daerah yang telah di kuasai oleh Habib Abdurrahman dan Tgk
Chik di Tiro. Operasi Van der Heijden ini di mulai satu minggu setelah pasukan Habib
memasuki mukim VI, yaitu tepatnya pada tanggal 23 Juli 1878. pada tangggal 25
juli 1878 benteng seuneulop dapat di rebut oleh Belanda dengan korban di pihak
Belanda 6 orang Mati dan 42 luka-luka, kekalahan Habib di Bentengnya yang
terkuat Seuneulop, membuat Habib ragu-ragu untuk dapat memperoleh kemenangan jika
meneruskan perlawanan dengan menghadapi persenjataan Belanda yang amat kuat,
karenanya ia mengadakan hubungan dengan pihak Belanda dan iapun berangkat ke
Jeddah pada tranggal 23 November 1878 dengan mendapat tunjangan sebesar 12.000
ringgit saban Tahun dari pihak Belanda.
Setelah Belanda mendirikan
Benteng di Sigli berkali-kali mendapat serangan dari Tgk Chik di Tiro terhebat
pada bulan April dan Mei 1878. Benteng Belanda di Pidie. Pada waktu itu di
bawah komando kapten J.A Vetter ( 20 Tahun kemudian telah memperoleh pangkat
letnan Jendral). Dalam penyerbuan Tgk di
Tiro 28/29 April 1878, Vetter kehilanghan letnannya Schutter dengan beberapa
bawahannya.
Akibat serangan terus
menerus dari pasukan Tgk Chik di Tiro, mereka terpaksa bertahan dalam benteng,
karenanya Belanda terpaksa meminta bantuan tambahan dan pada tanggal 7 Mei 1879
pasukan bantuan datang di bawah pimpinan mayor Coblijn. Belanda merencanakan
akan menyerang ke kubu-kubu pertahanan Tgk Chik di Tiro dimana saja, di Pidie
termasuk di Garot maka jendral Vander Heijden memutuskan bahwa dia sendiri akan
tampil memimpin penyerangan di maksud.
Pda tahun 1883 Twk
Muhammad Daud Syah dianggap sudah dewasa untuk menjalankan tugas sebagai
sulthan. Sulthan yang masih muda itu di akui setiap orang Aceh. Baginda di
bantu oleh Tuanku Hasyim sebagai raja muda dan Tgk Chik di Tiro, yang turut
menghadiri periustiwa itu sebagai kadhi.
Setelah Twk Muhammad Daud
di tabalkan menjadi sulthan, ia berseru kepada para Uleebalang agar meneruskan
dan pengumpulan harta benda untuk perang sabil. Di samping itu di angkat pula
untuk Wilayah Aceh Barat T.Umar sebagai Amirul Bahri atau panglima laut dan
Tuanku Mahmud, Bangta kecil , adik Twk Hasyim Bangta muda sebagai wakil
sulthan.
Teungku Chik Di Tiro( Tgk
Muhammad Saman) dengan pasukan-pasukannya yang bersenjata, baik yang di
kerahkan oleh rakyat kampung, merupakan pasukan bersenjata yang dapat bergerak
cepat dengan di bantu oleh pasukan pemimpin-pemimpin dan Tgk Chik di Tiro tiba-tiba muncul di
Mukim XXII lalu tampak pula di mukim XXVI. Dalam Agustus 1883 datanglah bantuan
kurang lebih 500 orang dari pantai Utara dan pada bulan Juli 1884 pasukannya di
perkuat lagi oleh 250 orang dari berbagai daerah dengan mengambil tempat di
mukim XXVI. Penyerangan-penyerangan tewrus di lanjutkan sehingga Belanda
terpaksa mengundurkan diri Dari mukim XXII dan sebagian dari mukim XXVI dan
terpaksa bertahan di belakang lini pos-posnya yang kuat. Panglima perang Nyak
Makam yang giat bergrilya di Aceh Timur langkat dan deli datang di Aceh Besar
serta turut berperan dalam serangan-serangan terhadap belanda, antara lain
menyusup ke pulau.
Mengenai riwayat hidup
Teungku Chik Di Tiro belum banyak yang dapat di ceritakan. Suatu sumber
mengatakan bahwa ketika habib datang dari luar negeri dan mengadakan musyawarah
di keumala dengan Sulthan Polim, Imam long Bata dan para terkemuka lainnya,
kepada Teungku Chik di Tiro telah di beri kuasa untuk mengerahkan perang
semesta di bagian Aceh Besar. Untuk keperluan ini beliau di angkat menjadi Wazir sulthan.
Meningkatnya perlawanan terhadap Beelanda di Aceh
Besar dalam Tahun1877 dan 1878, selain dilancarkan oleh Habib Abdurrahman dapat
di pahami juga, di lancarkan oleh Tgk Chik
di Tiro yang tampil kedepan sebagai pemimpin
sabil di bagian Aceh Besar. Dengan berkecamuktyan perang di bagian Pidie
juga di pimpin pula oleh Teungku Chik di Tiro, nyatalah bahwa Ulama Besar ini
tidak hanya memimpin sabil di Aceh Tapi juga memimpin sabil di daerah Pidie.
Penyair Doekarim
mengisahkan Tentang Teungku di Tiro sebagai berikut: Masuk ke Aceh Besar dengan
pengikutnya yang banyak para patriot Pidie beliau telah bertapa lebih dahulu ke
lampaih, untuk beberapa bulan lamanya. Banyaklah penduduk berziarah ke tempat
ini ,banyak pula yang berelajar . banyak pula Teungku Syeh Saman yang
melahirkan Kader-kader pejuang yang selanjutnya tersebar ke tempat-tempat
pejuang di Aceh.
Lampaih itupun merupakan
tempat Teungku Chik di Tiro menerima orang yang insaf kembali, mulai dari
golongan uleebalang sampai orang hukuman pun ada juga di catat tentang
datangnya orang-orang tionghowa dan selain itu datangnya dua orang perwira
bawahan belanda yang di sersi (lari) , insaf sesudah memperhatikan kesucuian
pejuang Teungku Di Tiro dan mengetahui keganasan bangsanya. Kedua orang Belanda
itu menyebrang untuk membantu dengan sepenuh hati, pada Teungku Chik di Tiro
pengetahuan mereka tinggi, ahli membuat senjata api dan obat bedil, cukup
bermanfaat untuk perjuangan ketika diketahui buktinya.
Di ceritakan oleh Doekarim
bahwa Tgk Chik Di Tiro giat memberi nasehat dan petunjuk betapa besar dosanya
membiarkan orang kafir menguasai tanah air orang islam. Mereka yang insaf
mendapat ampun tapi mereka yang tidsak insaf akan menerima bagiannya. Itulah pula
sebabnya meraka yang menjadi mata-mata musuh tidak di beri kelonggaran
sedikitpun, lebih-lebih pula terhadap pisau tajam dua belah . pada suatu ketika
Uleebalang angkatan Belanda. Teungku Anak Paya
dari IV mukim telah di desak Belanda supaya menunjukkan tempat Tgk Chik
di Tiro. Dengan Hati Berat Tgk Anak Paya menjalankan desakan ini, tapi sebelum
berangkat telah di utusnya seorang suruhan untuk memberi lahu lebih dahulu
kepada Tgk Syeh Saman di Tiro bahwa
tentara Belanda akan Datang pada waktu dan jam yang disebutkannya, ketika mana
ia ajakan turut sebagai penunjuk jalan.
Tapi di mintanya supaya dia jangan di tembak terhadap pemberitahuan itu
sadarlah Tgk Chik Di Tiro bahwa Tgk Anak
Paya tidak dapat di percaya. Pada suatu kesempatan yang baik , Tgk anak payapun
mati terbunuh.. dengan ketegasan Tgk Chik Di Tiro itu tidak mengherankan apa sebabnya penyelewengan Habib tidak
berakibat kelemahan perjuangan. Melainkan sebaliknya Tgk Chik Di Tiro semakin sadar bahwa
keteguhan tekad menyempurnakan tegas di jalan Allah (fi sabilillah)adalah
syarat pertama untuk mencapai kemenangan. Ketika Teuku Umar berada di Aceh Besar, selalulah keduanya
memusyawarahkan taktik strategi perjuangan dan dimana perlu mengkoordinasikan
itulah sebabnya Belanda sangat terpukul sekali di masa itu.
Pada bulan Oktober 1887
pasukan Tgk Chik di Tiro dengan kekuatan 400 orang memasuki Garis pertahanan
Belanda antara meusapi dengan Raja bedil. Dalam pertempuran itu di pihak Aceh
41 orang tewas, sedangkan di pihak Belanda 4 orang mati dan 17 luka-luka.
Adanya serangan seperti ini membuat Van Teijn mulai sedikit demi sedikit
meninggalkan politik menunggu, baik sekitar garis pertahanan konsentrasi maupun
di luar Aceh Besar ia menjalankan politik yang lebih Aktif, untuk membendung
dan melawan pengaruh T. Umar dan Twk. Mahmud yang bertindak sebagai wakil
Sulthan di Aceh Barat serta pengaruh Tgk Yusuf utusan Tgk Chik di Tiro (
Muhaammad Saman, pen) di daerah tersebut, bahagian-bahagian tertentu pantai
Aceh di Tutup untuk Impor dan ekspor serta di larangan penangkapan ika juga di
laksanakan sebagai hukuman terhadap oarang-orang Aceh yang membantu tokoh-tokoh
tersebut di atas sepanjang kekuatan armada Belanda mengizinkannya.
Pada bulan Juli 1889 Tgk.
Chik Di Tiro ( Tgk Muhammad Saman,Pen) Penghantam kedudukan Belanda di dekat
Kota Pohama, hanya beberapa kilometer dari Kuta Raja, dengan korban 22 orang
mati dan 94 lorang luka-luka di pihak Belanda. Belanda mengadakan serangan
balasan terhadap benteng Aceh di tempat ini dan akibatnya di pihak Aceh ada
yang menyerah dan beberapa puluh orang mati syahid.
Pada bulan Januari 1891 Tgk Chik di Tiro Muhammad
Saman telah berpulang ke rahmatullah, yang kemudian di susul oleh T. Panglima
Polem Muda Kuala.. Syaikh Muhammad Saman di gantikan oleh Anaknya bernama Tgk
Muhammad Amin sebagai Tgk Chik di Tiro dan di akui oleh Sulthan Muhammad Daud.
Tgk Panglima Polem Muda Kuala yang di gantikan oleh Putranya T.Raja Daud. Ia
dio bantu oleh dua Panglimanya, abang iparnya T. Ali Basyah dari Geudong dan T.
Ibrahim montasi. Raja daud bekerja sama dengan ulama-ulama yaitu Tgk Mayet Tiro
( putera no.2 dari Tgk. Muhammad Saman Tiro), Tgk Klibeut, Habib Lhong dan tgk
Pante Glima mendirikan benteng-benteng untuk menghadapi serangan Belanda di
Mukim XXII.
Setelah meninggalnya Tgk
Chik di Tiro, Mulai juli 1891 sampai dengan Februari 1892 Dr. Snouck Hurgronje
mengadakan penyelidikan mengenai agama dan politik Aceh untuk mengetahui
bagaimana sikap para ulama dengan meninggalnya Tgk chik Di Tiro Muhammad Saman
dan bagaimana pengaruh mereka serta jalan manakah yang harus di tempuh oleh
sulthan aceh dalam memenuhi kehendak para ulama. Sebagai hasil penelitiannya
Snouck Hurgronje berkesimpulan bahwa pada umumnya yang di hadapi oleh belanda
adalah sebuah gerakan rakyat fanatik yang di pimpin oleh ulama dan mereka ini hanya
dapat di taklukkan bila mana Belanda mempergunakan kekuatan senjata dan kontak
dengan mereka tidak boleh di adakan sebelum mereka menyerah.
Inti sari pendapat yang di
simpulkan oleh Dr. Snouck Hurgonje
mengenai penyelesaian Aceh ialah:
1. Hentikan usaha mendekati
sulthan dan orang-orang besarnya, sebab sulthan itu katanya , sebetulnya tidak
berkuasa. Kalau dia dapat di ajak damai, tidaklah dengan sendirinya berarti yang
lain-lain akan turut serta damai. Mengenai fungsi sultan, Snouck Hurgronje di
dalam bukunya telah menunjuk surat yang pernah di sampaikan oleh ulama Tgk Chik
di Tiro kepada Belanda ketika ulama Tiro menyatakan : “ herannya kenapa Belanda selalu saja Berusaha untuk mencari Hubungan
dan Mendekati Sulthan. Menurut Chik Tiro kata Snouck, sulthan tidak dapat
berbuat apa-apa tanpa berunding dengan Tgk. Kali Malikul Adil, Tgk Ne’ ,
Panglima Mesjid raya dan Imam Longbata. Tapi pembesar yang 4 inipun tidak dapat
berbuat apa-apa karena mereka tergantung pada 3 Panglima Sagi tergantung pula
pada ketujuh kaum, yaitu wakil rakyat. Sedangkan rakyat tidak akan berbuat
apa-apa kalau tidak sesuai dengan pendapat-pendapat ulama. Selanjutnya ulama
akan mengumumkan pendapatnya menurut Hukum Allah dan Rasul. Demikian
Hierarchinya wewenang itu kata Tgk. Chik Di Tiro, menurut Dr. Snouck Hogronje”
2. jangan mencoba-coba mengadakan perundingan dengan musuh yang Aktif,
terutama jika mereka terdiri dari para ulama. Sebab keyakinan merekalah yang
menyuruh mereka melawan Belanda. Terhadap mereka haruslah pelor yang berbicara.
3. Rebut lagi Aceh Besar.
4. untuk mencapai simpati rakyat aceh giatkan pertanian, kerajinan dan dagang.
Selanjutnya
di usulkan:
v membentuk biro informasi buat staf2 sipil, yang keperluannya memberi mereka
penerangan dan mengumpulkan pengenalan mengenai hal ihwal rakyat dan negeri
Aceh.
v Membentuk kader-kader pegawai negeri yang terdiri dari anak bangsawan Aceh
membikin korp pangreh praja senantiasa merasa diri kelas memerintah
Dari tahun 1898 sampai 1903 adalah babak pertempuran habis-habisan bagi
Sulthan, polim, umar demikian juga bagi ulama Teungku Chik di tiro ( Tgk
Mayet). Sejak 1 juli 1898 mulai berkecamuk perang habis-habisan di Pidie,
hingga sebulan lamanya seorangpun belum ada Tokoh-tokoh penting di pihak Aceh
yang tewas (syahid). Sebaliknya di pihak Belanda sudah banyak di timbulkan korban,
sekalipun hanya dari pangkat kapten ke bawah.
Pada penyerangan Belanda
kedua di Tangse pada tahun 1898 telah di putuskan untuk membagi-bagi tugas dari
para pahiawan Sulthan Panglima Polim, T. Umar dan Tgk. Chik di Tiro ( Tgk
Mayet)yang dalam waktu sebelumnya sudah berada di sana, mengatur lagi siasat
perang untuk menghadapi kenyataan-kenyataan yang ada.
Pada bulan November 1902,
Belanda menanggap istri Sulthan Pocut Putroe, di tahan di sabang dan kemudian
pada tanggal 23 Desember 1902, isteri kedua Pocut di Murong dan Putra Mahkota Twk. Ibrahim (14
tahun) di tangkap oleh Belanda. Belanda menetapkan bahwa isteri-isteri dan
putra mahkota sulthan baru di lepaskan jika di tebus dengan dirinya sendiri.
Pada masa inilah Sulthan
kehilangan pedoman dalam kewajiban harus bergantung pada kepentingan
perjuangan, karena mungkin ia dalam waktu yang sama sedang menyadari benar
tanggung jawabnya yang harus di pikul terhadap keluarga yang sedang meringkuk
dalam kesewenang-wenangan Belanda.
Sulthan menyerahgkan diri
Akhirnya sulthan memilih
untuk menebus keluarganya dengan dirinya. Ini berarti bahwa dia menghentikan
perjuangan terbuka. Usaha yang masih dapat di lakyukannya sebelum menyerah
ialah mengirimkan pesan kepada
Panglima Polim dan Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman telah meninggal dunia pada
tahun 1891 Aneuk Galong aceh Besar, Kedudukannya digantikan oleh putranya
tertua Tgk. Mat Amin, yang selanjutnya sebagai Tgk Chik Di Tiro – Tgk Mayet,
Tgk Mayet mati syahid di Gunung Halimun tangse pada Tahun 1910 dan mayatnya di jemput oleh masyarakat pulo
mesjid 1 Tangse – { tanah kuburan milik T. Itam tangse- Pen} bahwa menyerahkan
perjuangan kepada mereka). Setelah itu lalu dengan surat bertanggal 6
januari 1903 dikirimlah khabar olehnya kabar kepada Gubernur Van Heutsz di Kuta
raja bahwa dia bersedia menyerah.
Dalam penyerahan diri
tersebut Sulthan menghendaki syarat-syarat, di antaranya bahwa dia tidak hendak
bertanggung jawab kepada Belanda jika perlawanan masih berlanjut. Sebagai
seorang raja, dia berkehendak mendapat perlakuan menurut biasanya
kebiasaan internasional yang zalim. Di
samping itu Sulthan membuat beberapa ketentuan tentang prosedur penyerahan
diri. Dia meminta tokoh-tokoh berat dari Aceh yang sudah berpihak kepada
Belanda yang harus datang menjemputnya di satu tempat. Perwira tertinggi
Belanda di bagian itu harus menjemputnya di tempat yang di tentukan, untuk
kemudian bersama-sama berangkat ketempat di mana dengan resmi penyerahan di
langsungkan.
Van Heustz menerima kabar
permintaan menyerah itu dengan sangat gembira. Van Heustz menyambut bahwa dia
bersedia memenuhi syarat yang diinginkan oleh Sulthan kecuali dalam hal-hal yang
dia sendiri tidak berwenang memutuskannyadan dalam hal yang mutlak tidak
mungkin.
Hal yang dia sendiri
katanya tidak dapat memutuskan, ialah bahwa hanya kepada Gubernur jenderal
Belanda di Jakarta tenggelam wewenang untuk menentukan bagaimana sulthan akan
di perlakukan dan kemana Sulthan akan ditempatkan. Hal yang mutlak bahwa
sulthan harus menandatangani penyerahan dimana akan di terangkan bahwa dia
mengakui takluk dan dia tidak boleh mengadakan perlawanan lagi.
Sesuai dengan permintaan,
Van Heustz mengirim tokoh-tokoh yang mengelukan, yang akan di antar secara
Khusus oleh kapal sibolga dari uleleh ke Sigli mereka itu ialah (1). Twk.
Mahmud, Paman Sulthan. (2). Twk. Ibrahim, anak Twk. Hasyim; (3). Twk Husin,
bekas panglima Aceh; (4) 2 orang uleebalang terkemuka yang sudah bekarja sama, yaitu panglima XXV
dan XXVI mukim; (5) Tiga anggota keturunan Polim.
Sultan di jemput oleh
mereka ke Arusan (ie Leubeu) lalu di antar ke Asam Kumbnang. Di jaman (
Beureunuen) telah menunggu kereta api Ekstra yang akan membawa Sulthan secara
kehormatan naik melewati Sigli menuju ke peukan Pidie beristirat di sini.
Tanggal 10 Januari 1903, Sulthan danm rombongan berangkat menuju Sigli.
Sesampai di Stasion Sigli , Sultan di Sambut oleh pihak militer Belanda yang di
kepalai oleh Mayor Van er Maaten sendiri.
Tanggal 13 Januari 1903
Sultan, isterinya Pocut Murong dengan Rombongan pengiring sejumlah 175 orang
bertolakdari Sigli menuju ke Uleleh dengan sebuah kapal perang “sumbawa” dan
“dag” di uleleh telah menunggu kereta api ekstra, dalam coupe istimewa dia
berangkat menuju Stasion Kutaraja, dimana kereta juri kenaikan Gubernur Van
Heustz.
Tanggal 15 Januari 1903
Sultrhan diterima oleh Van Heutsz dan Tanggal 20 januari 1903 diadakanlah
upacara penyerahan diri sulthan Di tempat Gubernur. Hadirlah para pembesar
sipil/militer Belanda dan para undangan. Sulthan membuat pernyataan dalam
bahasa indonesia yang kemudian di terjemahkan oleh juru bahasa J.H. Mobeek,
bahwa: (1) dia menyerahkan diri kepada Gubernur, (2) bahwa kerajaan Aceh
sebagian dari Hindia, Belanda. (3) bahwa dia senantiasa setia kepada Ratu
Belanda dan kepada Wakilnya gubernur Jendral dan (4) dia rela menerima segala
sesuatu keputusan yang di tentukan kepadanya bahkan juga menjalankan perintah
kepadanya. Sultan Muhammad Daud naik tahta tahun 1296 Hijriah, semasa (+/- 1876
Masehi)
Selesai pernyataan, Van
Heutsz menyambut dengan beberapa patah kata bahwa: (1) menerima penyerahan diri
itu, (2) bahwa dia belum dapat menentukan sesuatu tentang dirinya melainkan
menunggu ketetapan gubernur Jendral, (3) bahwa dia menantikan dari Sulthan
supaya mengirim surat kepada Uleebalang dan kepala-kepala menyuruh mereka
menyerah dan menghentikan segala perlawanan, dan (4) bahwa untuk sementara
Sulthan dapat tunjangan sebesar f 1000,- sebulan.
Panglima Polim Menyerah
Pada tanggal 6 September
1903, panglima Polim dan iparnya Twk Raja Keumala ( anak Twk. Hasyim) bersama
150 prajurit lengkap dengan senjata datang melapur pada kapten Colijn, selaku
civiel gezaghebber di Lhok Seumawe. Atas persetujuan gubernur Jendral Belanda
di Jakarta, panglima Polim di angkat menjadi Kepala Sagi Di Sagi XXII mukim
terhitung mulai tanggal 1 Januari 1904. dengan demikian posisi panglima polim
telah berubah menjadi uleebalang yang bekerja sama.
Bersama Panglima Polim dan Twk. Raja keumala turut menyerah Teuku Tjih,
Lothan dan Raja Meukuta Geudong, Teungku Jjit serta Ayahnya awal bulan November
1903 menyerah lagi Raja Hitam dari Buloh Beureugang dan Tgk. Raja
Lhokseumawepun juga telah datang menyerah Teuku Muda Peudada di Lhokseumawe
Sesudahnya beberapa sebelum itu (dalam Tahun 1903) letnan Belanda Chistoffel
“berhasil” menculik isteri dan anak-anaknya. Teuku ubit Samalanga menyerah
dalam bulan Desember 1903.
Maklumat Ulama seluruh Aceh
Setelah Indonesia Merdeka pada Tanggal 15 oktober
1946, di keluarkanlah “ maklumat ulama seluruh Aceh” yang merupakan suatu pernyataan pengakuan
rakyat Aceh terhadap republik Indonesia dimana daerah Aceh dan Rakyat aceh
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari negara Republik Indonesia.
Maklumat Ulama seluruh Aceh tersebut terdiri dari 7 poin, di antaranya :
Perang dunia kedua yang maha dahsyad
telah tamat. Sekarang di barat dan di Timur oleh 4 kerajaan yang besar sedang
di atur oleh perdamaian dunia yang abadi untuk keselamatan makhluk Allah. Dan
Indonesia tanah tumpah darah kita telah di maklumkan kemerdekaannya kepada
seluruh dunia serta telah berdiri Republik Indonesia dibawah pimpinan ir.
SUKARNO.
Seganap lapisan rakyat telah bersatu
padu dengan patuh berdiri di belakang pemimpin ir. Sukarno untuk menunggu
perintah dan kewajiban yang di jalankan.
Menurut keyakinan kami perjuangan
ini adalah sambuangan perjuangan dahulu di Aceh yang di pimpin oleh almarhum
Tgk. Chik di Tiro dan pahlawan-pahlawan kebangsaan yang lain.
Dari sebab itu bangunlah wahai
bangsaku sekalian, bersatu padu menyusun bahu mengangkat langkah maju ke muka
untuk mengikuti jejak perjuangan nenek
kita dahulu. Tunduklah dengan patuh kepada segala pemerintah pemimpin kita
untuk keselamatan Tanah air agama dan Bangsa.
Maklumat ulama seluruh Aceh ini di tanda tangani oleh: (1) Tgk Haji Hasan
Krueng Bale,(2) Tgk M.Daud beureueh (3) Tgk Haji Dja’far Sidik, (4) Tgk Haji
Ahmad Hasballah Indrapuri, kesemuanya mewakili ulama dan di ketahui oleh T.
Nyak Arif selaku Residen Aceh serta di setujui oleh Tuanku Mahmud selaku Komite
Nasional.
Maklumat ulama inilah yang
secara yuridis formal dapat di anggap sebagai bukti pernyataan sikap dari
seluruh Rakyat aceh yang di wakili oleh para Ulama yang cukup representatif,
kepala pemerintahan di Aceh yaitu Residen Aceh dan ketua komite Nasional
(Lembaga Legislatif) pada waktu itu, “ bahwa Aceh adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari Republik Indonesia dan rakyat Aceh adalah bagian dari Bangsa
Indonesia
*****