Minggu, 27 Januari 2013

Abdul Karim Bin Ibrahim Al-Jili, AL-Insan Al-Kamil (AKLAK TASAWUF)


BAB I
Al-JILI

A.    Biografi Al-Jili
   Al-Jili nama lengkap beliau adalah Abdul Karim Bin Ibrahim Al-Jili. Ia menulis Kitab AL-Insan Al-Kamil (Manusia Paripurna) ia lahir pada Tahun 676 H atau 1365 M, di jailan, wilayah utara iran. Beliau wafat 811 H atau 1409 M, ia mengemukakan pandangan tentang nur Muhammad yang merupakan gagasan yang berkembang dari Ibnu Arabi.[1]
Pada tahun 790 H ia berada di Kusyi, India untuk mendalami kesufiannya. Ketika berkunjung ke India ini, Al-jili melihat tasawuf falsafi ibn Arabi dan tarekat-tarekat antara lain Syisytiyah (didirikan oleh Mu’in al-Din al-Shysyti, W.623H di Asia Tengah),Suhrawardiyah (didirikan oleh Abu Najib al-Suhrawardi, W.563 H,di Bagdad), Naqsyabandiyah (didirikan oleh Baha al-Din al-Naqsyaband, W.791 H.di Bukhara) berkembang denagn pesat. Sebelum sampai ke India, ia berhenti di Persia dan mempelajari bahasa Parsi. Di sanalah ia menulis karyanya Jannat-u al-Ma’arif wa Ghayat-u Murid wa al-Ma’arif.
Pada akhir tahun 799 H ia berkunjung ke Mekkah dalam rangka menunaikan ibadah haji, namun dalam kesempatan ini ia sempat pula melakukan tukar pikiran dengan orang disana. Hal ini menandakan bahwa kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan melebihi kecintaannya terhadap hal-hal lain. Empat tahun kemudian, yakni tahun 803 H al-jili berkunjung ke kota Kairo. Dan disana ia sempat belajar di Univeritas al-Azhar, dan bertemu banyak para teolog, filusuf, dan sufi. Di kota inilah ia menyelesaikan penulisan bukunya yang berjudul, Ghunyah Arbab al-Sama’ wa Kasyf al Qina’ an Wujud al-Istima.
Dan dalam tahun yang sama juga ia berkunjung ke kota Gazzah, Palestina, di kota ini ia menulis bukunya dengan judul, al-Kamalat al-Ilahiyah. Namun setelah kurang lebih dua tahun kemudian, ia kembali lagi ke kota Zabid, Yaman dan bertemu kembali dengan gurunya (al-Jabarti). Maka pada tahun 805 H ia kembali ke Zabit dan sempat bergaul dengan gurunya itu selama satu tahun, karena pada tahun berikutnya gurunya meninggal.
Di ketahui bahwa tahun kunjungannya ke Gazzah merupakan tahun terakhir dari perjalanannya ke luar Zabit. Dari itu, diketahui pula bahwa sekembalinya dari Gazzah itu ia masih hidup selama lebih kurang 21 tahun dan masih tetap terus aktif menulis sampai akhir hayatnya. 

B.     Pemikiran Al-Jili

Abdul Karim Al Jily menulis buku Al-Insan Al-Kamil dengan mengakui bahwa ia memperolehnya dari Allah. Ia mengaku Allah. Ia mengaku, Allah memerintahkannya untuk mengajarkan buku ini kepada  manusia, dan setiap hari isi dari buku ini ia dukung dengan al-Qur’an dan sunnah. Ia menyatakan “ kemudian aku meminta dari hyang mengkaji buku ini setelah aku mengajarinya bahwa sesungguhnya aku tidak meletakkan sesuatua apapun dalam kitab ini, kecuali ia terdukung oleh kitab Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Jika tampak bagi seseorang satu hal dalam ucapanku yang bertentangan dari sisi pemahamannya, bukan maksudku yang untuknya aku menorehkan kalam, dan ia menghindari pengalamannya, disertai tindakan penyerahan kepada Allah semoga dia membuka makrifat padanya, dan memperoleh bukti akan hal tersebut dalam kitab Allah dan sunnah Nabinya.
Manfaat dari penyerahan disini adalah agar ia tidak terhalangi untuk mencapai pengetahuan tentang hal tersebut. Karena, siapa yang mengingkari sesuatu dari ilmu kami ini, maka ia terhalangi untuk mencapainya selama ia mengingkari.tidak ada cara memperolehn ya, melainkan dikhawatirkan ia terhalang untuk mencapainya secara mutlak sebab penolakan pada saat pertama. Padahal, tidak ada jalan lain baginya kecuali beriman dan menyerahkan diri.
Ketahuilah bahwa setiap ilmu yang tidak didukung dengan Al-qur’an dan sunnah, maka berarti sesat, bukan karen anda tidak mendapati apa yang mendukungnya. Terkadang suatu ilmu dengan sendirinya terdukung denmgan Al-Qur’an dan sunnah. Tetapi, sedikit kesiapan telah menghalangi anda untuk memahami, sehingga anda tidak akan menerimanya. Anda mengira bahwa ilmu itu tidak terdukung dengan Al-qur’an dan sunnah. Maka, penyelesaian masalah ini adalah dengan cara menyerahkan diri, tidak mengamalkan tanpa menolak, hingga Allah menuntun tanganmu untuk mncapainya”.[2]
Proses Munculnya Insan Kamil
Seperti Ibn ’Arabi, al-Jili membawa teori tajalli dan taraqqi dalam proses munculnya insan kamil. Menurut al-jili, tajalli Ilahi yang berlangsung secara terus-menerus pada alam semesta terdiri atas lima martabat, di antaranya adalah:
Pertama,Uluhiyah, tahap ini adalah tingkat tertinggi dalam proses tajjali Tuhan, dimana uluhiyah merupakan esensi (quidity) zat primordial dan merupakan wujud primer yang menjadi sumber segala yang ada dan tidak ada. Nama yang digunakan dalam peringkat ini adalah “Allah”, karena dalam pandangan al-Jilli sendiri, sebutan “Allah” merupakan nama tertinggi bagi Tuhan di atas nama-Nya al-Ahad, yang digunakan oleh Ibn ‘Arabi sebagai tingkat tajjali tertinggi Tuhan (Ahadiyah).
Kedua, Ahadiyah, tahap ini muncul dari tahap sebelumnya (uluhiyah), dimana tingkatan ini merupakan sebutan dari zat murni (al-dzat al-sadzi) yang tidak memiliki nama dan sifat, dan tahap ini tidak bisa dicapai oleh pengetahuan manusia karena tidak ada kalimat dan kata-kata yang dapat menggambarkan-Nya. Dan dalam tahap ini menurut al-Jilli mengalami tiga penurunan (tanazzul):
a. Ahadiyah, Zat Mutlak menyadari ke-Esa-an diriNya
b. Huwiyah, kesadaran Zat Mutlak terhadap ke-Esa-an-Nya yang gaib
c. Aniyah, Zat Mutlak menyadari diri-Nya sebagai Kebenaran
Ketiga, Wahidiyah, dimana pada tahap ini zat Tuhan menampakan diri-Nya pada sifat dan asma (nama), tetapi sifat dan asma itu sendiri masih identik dengan zat Tuhan karena zat ini pun masih berupa potensi-potensi dan belum mampu mengaktual secara keseluruhan. Keempat, Rahmaniyah, pada tahap ini Tuhan ber-tajjali pada realitas asma dan sifat, dan dengan kalimat “kun” (jadilah), muncullah realitas-realitas potensial yang terdapat dalam tahap wahidiyah tadi menjadi wujud yang aktual, yakni alam semesta. Tetapi aktualitas ini masih bersifat universal, karena bersamaan dengan proses penciptaan alam secara keseluruhan. Kelima, Rububiyah, dalam tahap ini Tuhan ber-tajjali pada alam semesta yang sudah mengalami partikularisasi (terbagi-bagi) dan sudah beragam, khususnya pada diri manusia (sebagai makhluk yang terbatas) untuk memanifestasikan diri-Nya yang tidak terbatas itu dengan menunjukan citra-Nya dalam diri manusia, dan citra Tuhan yang paling utuh bisa kita temukan dalam diri seorang Insan Kamil. Adapun tajjali ini akan mengalami pantulan yang akan berbalik arah kearah semula (dari zat sampai perbuatan, kemudian berbalik dan memantul dari perbuatan menuju zat); pertama tajjali perbuatan (tajjali al-af’al), kedua tajjali nama-nama (tajjali al-asma), ketiga tajjali sifat-sifat (tajjali al-shifat), keempat tajjali zat (tajjali al-dzat).
Kemudian al-Jilli sendiri dengan kejeniusannya membagi taraqqi kepada tujuh tingkatan menuju Insan Kamil:
1.      al-Islam, dimana pada tingakt ini seseorang harus memiliki identitas keislaman yang mana identitas itu termaktub dalam rukun Islam: syahadat, sholat, zakat, puasa, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.
2.      al-Iman, pada tingkat ini seseorang harus memiliki keyakinan yang teguh kepada Allah s.w.t., Malaikat-Malaikat Allah, Kitab-Kitab Allah, Rasul Alllah, Hari Akhir, dan Qadar.
3.      al-Shaleh, pada tahap ini seseorang melaksanakan ibadah kepada Allah harus didasari oleh rasa takut (khawf) dan harap (raja’).
4.      al-Ikhsan, dalam tahap ini seseorang harus menempuh tujuh maqam, yaitu: tobat, inabah (tobat dari kelalaian mengingat Tuhan), zuhud, tawakal, rela, tafwidl dalam segala hal, dan ikhlas.
5.      al-Syahadah, pada tahap ini seseorang akan menyaksikan keindahan dan keagungan Tuhan yang sesungguhnnya.
6.      al-Shiddiqiyah, pada tahap ini bisa disebut juga tahap makrifat karena seseorang pada tahap ini akan mendapatkan cahaya kebenaran secara berangsur dari asma-Nya hingga zat-Nya, yaitu:
·         ‘ilm al-yaqin, pada tingkat ini seorang sufi disinari oleh asma Tuhan
·         ‘ayn al-yaqin, pada tingkat ini seorang sufi disinari oleh sifat Tuhan
·         haqq al-yaqin,pada tingakat ini seorang sufi disinari oleh zat Tuhan
7.      al-Qurbah, pada tahap ini seseorang akan mendapatkan kedudukan di sisi Tuhan paling terdekat dengan-Nya, dan ada empat pendekatan kepada Allah, yaitu:
·         al-Khullah, adalah sebuah persahabatan dengan Tuhan, sehingga Tuhan dikenal secara intim. Dengan demikian sufi senantiasa berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya.
·         al-Hubb, adalah sebuah percintaan antara sufi dan Tuhannya, sehingga yang satu merasakan apa yang dirasakan oleh yang lainnya.
·         al-Khiram, adalah sebuah pencitraan Tuhan secara utuh terhadap seorang sufi, tetapi kesempurnaan Tuhan tidak tercapai oleh sufi secara keseluruhan, karena kesempurnaan-Nya tidak terbatas.
·         al-Ubudiyah, adalah sebuah penghambaan seorang sufi terhadap Tuhannya, karena bagaimanapun ia tidak akan dapat menjadi Tuhan.





BAB II
IBNU MASSARRAH
  1. Biografi Ibnu Masarrah
Muhammad bin 'Abd Allah ibn Masarra lahir di Cordoba, Spanyol, di 269 ah / iklan 883 dan meninggal di ah 319 / 931 iklan. Dalam pertapaan ia didirikan untuk teman-temannya dan murid di Sierra Cordoba, Ibnu Masarra melakukan untuk mengajarkan doktrin, untuk menginisiasi mereka ke dalam penggunaan pengetahuan esoteris dan mempraktekkan sifat zuhudnya (asketisme) melalui tindakan penebusan dosa dan pengabdian. Kesuksesannya datang dari gaya Socrates pedagogi serta kepribadian yang karismatik dan keterampilan dalam komunikasi. Setelah kematiannya para ahli hukum dilakukan penganiayaan yang sesungguhnya dari para murid-Nya; yang telah membentuk diri mereka menjadi sebuah tatanan pertapa, Masarriya, di Cordoba dan kemudian di Almería.[3]
Dua dari empat Ibnu Masarra-karya, Kitab al-i'tibar dan Kitab al-huruf khawass (Karakteristik Sastra) , diterbitkan pada tahun 1982Keduanya saluran pendek yang telah memberikan pemahaman yang lebih baik pemikirannya, tetapi karena keringkasan mereka menimbulkan pertanyaan baru. Hal ini masih tidak mungkin untuk merekonstruksi sistem filsafat sampai karya tersisa ditemukan, terutama Tauhid, al-muqinin (Profesi tertentu dari Keesaan Allah), di mana ia membahas atribut Allah.
Ibnu Masarrah adalah seorang penganut Mu’tazilah, kemudian ia beralih menjadi penganut Neoplatonisme.
            Pemikiran Ibnu Masarrah adalah bahwa jalan keselamatan adalah penyucian diri,  kezuhudan, tindakan memprioritaskan akal atas panca indra dan berusaha kembali kepada cinta yang merupakan pokok utama kehadiran manusia di alam semesta. Sebab dengan cara itu, berbagai unsur kejadiannya akan bersatu satu sama lain, sehingga terbentuklah sebuah kesatuan (Al Wahdah). Di sisi lain Ibnu Masarrah menganut pemikiran mazhab lain yang hampir menyerupai mazhab Plotinus, yaitu pemikirannya tentang teori emanasi (Al-Faidh) sebagai teori tentang awal mula segala wujud, alam, segala sesuatu yang ada di dalamnya, atau seluruh mahkluk yang ada.
            Konsep emanasi Ibnu Masarrah ada 5;
1.      Unsuh Ruhani (Anasir ru ha niyyah) yakni hakikat mental.
2.      Akal
3.      Jiwa
4.      Tabi’at
5.      Materi kasar
  1. Gambaran umum mazhab Ibnu Masarrah
            Cirri khas pola piker Ibnu Masarrah adalah berpegang teguh pada prinsip penakwilan (Takwil) sejalan dengan pemikiran Philon Iskandar atau sekte Isma’illiyah. Ibnu Masarrah sangat banyak melakukan penakwilan atas ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara penakwilan sekte kebatinan. Ia menolak kebangkitan jasmani di akhirat, menafikan pengetahuan Allah tentang hal-hal pertikular kecuali bila sudah terjadi. Begitu juga ia berpendapat bahwa siksa neraka bukan siksaan hakiki. Hal serupa di kemukakan oleh Ibnu Arabi sesudahnya.
            Diantara pemikiran yang dianggap sebagai ucapan Ibnu Masarrah adalah sebagai berikut;
            “Arsy adalah yang mengatur alam semesta ini dan Allah pada dasranya terlalu mulia bila dikatakan bahwa Dia melakukan sesuatu. Semua yang diungkapkan oleh Ibnu Masarrah merupakan pemikiran pengikut Neoplatonisme. Pemikiran Ibnu Masarrah ini sama dengan apa yang dikemukakan oleh Philon dalam teori perantara.
            Menurut Ibnu Hazm, kebanyakan pengikut Ibnu Masarrah dan juga para penentangnya di Granada menyebutkan bahwa Ibnu Masarrah berpendapat bahwa kenabian adalah sebuah maqam yang bisa dicapai dengan usaha (Iktisabi). Menurutnya kenabian pada dasarnya bukanlah sesuatu yang istimewa (Ikhtishash), yang hanya khusus dimiliki oleh orang-orang tertentu. Selain itu, teori yang dinisbatkan kepadanya dan juga kepada mazhab pemikirannya adalah teori Plato tentang jiwa dan teori para pengikut Hermetisme yang mengatakan bahwa jiwa manusia harus dibebaskan dan dikembalikan ke tempatnya semula melalui penyucian jiwa dan kezuhudan.
            Di antara buku-buku Ibnu Masarrah adalah kitab yang berjudul Tauhid Al Muqimin (buku ini membahas tentang sifat Tuhan dan menyatakan Tuhan bukan dzat). Dari pemikiran Ibnu Masarrah tentang lahiriyah tampak bahwa ia terpengaruh oleh teori ide yang dikemukakan oleh Plato.[4]






























BAB III
IBNU SABIIN
  1. Biografi  Ibnu Sabi’in
Nama lengkap  Ibnu Sabi’in adalah Abdul al-haq bin Ibrahim bin Muhammad bin Nashr bin Muhammad. Ia adalah seorang Sufi dan filosof besar dari Andalusia dan Eropa karna jawaban-jawabannya atas pertanyaan Frederich II, penguasa Sicilia. Dia dipanggil ibnu sabi’in dan dikenal pula dengan Abu Muhammad. Ia dibenci oleh sebagian Ulama Ahlusunnah karna dituduh menyebarluaskan ajaran Syi’ah. Ia berasal dari keturunan Arab, Ia lahir pada tahun 614 H, di kawasan Murcia, Andalus. Lahirnya Ibnu Sab’in, pada paruh awal abad ke-7 tepat pada masa akhir dinasti Muwahhidin berkuasa di Andalus dan beliau wafat pada tahun 669 H, karna diracun oleh Al-Muzaffar Syamsyuddin Yusuf, Menteri di Yaman. Ia telah menulis sejumlah karya antara lain AL-Jawab Shahib Syiqqiyah (yang berisikan jawaban atas penguasa Sicilia) dan Budd At’arif. Ibnu Sabi’in mendirikan sebuah tarikat As-Sab’iyyah. [5]
Dia mempelajari bahasa Arab dan sastra, dia juga mempelajari ilmu agama dari madzhab Maliki, ilmu-ilmu logika, dan filsafat. Ia mengemukakan gurunya bahwa diantara guru-gurunay adalah Ibn Dihaq, yang dikenal juga dengan Ibn Al-Mir'ah. Ibn Sab'in tumbuh dewasa dalam keluarga bangsawan, hidupnya dalam suasana penuh kemuliaan dan berkecukupan tetapi beliau menjauhi kesenangan hidup kemewahan dan kepemimpinan duniawi, lalu hidup sebagai asketis maupun sufi yang mempunyai banyak murid.
Ibn Sab'in mendirikan suatu tarekat yang dikenal dengan tarekat As-Sab'iniyyah. Para pengikutnya mengenakan pakaian khusus yang dikecam para fuqaha karena memiliki silsilah tarikat yang controversial. Salah seorang muridnya Asy-Syusytari, mengemukakan bahwa dalam istilah tersebut terdapat antara lain, plato, Socrates, Plato, aristoteles, Iskandar agung, Al-Halaj dll. Ia dikenal sebagai Tokoh Tasawuf Falsafi karena meyakini Al-Wahdah Al-Muthlaqah. Ibnu sabi’in lebih tegas mengembangkan pendapatnya daripada ibnu arabi dalam menegasikan pluralitas dan  kesatuan.pendapatnya dikenal dengan keasatuan muthlak (AL-wahdah al muthlaqa).[6]
  1. Ajaran Tasawuf Ibn SAb'in
Kesatuan mutlak / Wihdatul al-Mutlaqah
Ibnu Sab'in menggagas sebuah faham dalam tasawuf filosofis, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak, gagasan esensialnya sederhana yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata. Wujud yang lainnya yaitu wujud yang satu itu sendiri.
Paham ini lebih dikenal dengan sebutan paham kesatuan mutlak. Kesatuan mutlak ini, atau kesatuan murni -atau menguasai- menurut terminologi Ibn Sab'in pun, hampir tidak mungkin mendeskripsikan kesatuan itu sendiri. Dalam paham ini, Ibn Sab'in menempatkan ketuhanan pada tempat pertama. Sebab wujud Allah-menurutnya adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini, maupun masa depan. Sementara wujud materi yang tampak justru dia rujukan pada wujud mutlak yang rohaniah. Dengan demikian, berarti paham ini dalam menafsirkan wujud bercorak spiritual dan bukan material.
Pemikiran Ibn Sab'in ini mengambil rujukan dari Al-quran, yang diinterpretasikan secara filosofis ataupun khusus. Pemikiran Ibnu Sab'in ini mengambil rujukan Al-Quran Dari, Yang diinterpretasikan secara filosofis ataupun Khusus. Misalnya firman Allah ”Dia itulah Yang Awal dan Yang Akhir, yang dzahir dan yang Batin.”(QSAl-Hadid ; 3) dan firman-Nya, tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.” (QS Al-Qashas :28) terkadang dia memperkuat pahamnya dengan hadis-hadis Nabi, di antarnya dengan hadis Qudsi, “Apa yang pertama-tama diciptakan Allah adalah akal budi. Misalnya firman Allah "Dia itulah Yang Awal Akhir Yang murah, Yang dzahir murah Yang Batin." (QSAl-Hadid; 3) Dan firman-Nya, tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah "(QS Al-Qashas: 28). terkadang memperkuat dialog pahamnya hadis-hadis DENGAN Nabi, di antarnya hadis Qudsi dengan, "Apa Yang Pertama-tama diciptakan Allah adalah akal budi. Maka firman Allah kepadanya, terimalah! Maka firman Allah kepadanya, terimalah! Ia pun menerimanya…”. Ia pun menerimanya ... ". Namun Ibn Taimiyah menolah menolak dan mengecam keras pendapat Ibn Sab'in tentang kesatuan mutlak, menjelaskan bahwa interpretasi Ibn Sab'in terhadap nash-nash agama tidaklah benar. Namun Ibnu Taimiyah menolak menolah mengecam keras murah Pendapat Ibnu Sab'in tentang kesatuan Mutlak, menjelaskan bahwa Ibnu Sab'in terhadap interpretasi nash-nash agama tidaklah Benar. Begitu juga dengan hadits qudsi yang digunakan adalah hadis maudu'. Begitu juga hadits qudsi DENGAN Yang digunakan adalah hadis maudu '.
Paham kesatuan mutlak Ibn Sab'in ini mirip dengan paham “hakikat Muhamad” ataupun “Qutb” dari sebagian para sufi yang juga filosof, seperti Ibn Arabi dan Ibn Al-Faridh, atau paham “manusia Sempurna” dari Abdul karim Al-jalili. Paham kesatuan Mutlak Ibnu Sab'in ini mirip dengan paham "hakikat Muhammad" ataupun "Qutb" Menurut Ibn Sab'in pencapaian kesatuan mutlak adalah individu yang paling sempurna.
Menurut Ibnu Sab'in pencapaian kesatuan Mutlak adalah Yang Paling Sempurna yang dimiliki seorang fuqaha, teolog, filosof, maupun sufi. Sempurna Yang dimiliki seorang Fuqaha, teolog, filosof, maupun sufi. Inilah pribadi yang melebihi mereka semua dengan pengetahuannya yang khusus, yaitu ilmu pencapaian yang menjadi pintu gerbang kenabian, sosok pribadi yang dari segi hakikat rohaniahnya justru bersatu dengan nabi, yang mengendalkan semesta; dan segala sesuatu pun didasarkan padanya. Inilah Pribadi Yang melebihi mereka dengan pengetahuannya Semua Yang Khusus, yaitu ilmu pencapaian Pintu Gerbang Yang menjadi kenabian, sosok Pribadi Yang Dari Segi hakikat rohaniahnya justru Bersatu dengan nabi, Yang mengendalkan semesta; murah Segala sesuatu pun didasarkan padanya.

















DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.

Dr. Ibrahim Hilal, Tasawuf Antar Agama dan Filsafat ,  Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.

Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf Irfan & Kebatinan, Jakarta : PT.Lentera Basritama, 2004.

Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf Irfan Dan Kebatinan. Jakarta: P.T. Lentera Basritama, 2004,

Prof. Dr. Nur Syam M. Si, Tasawuf Kultural: fenomena shalawat wahidiyah, Yogjakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara, 2008.

Syekh Abdur Rahman Abdul Khaliq, Penyimpangan-Penyimpangan Tasawuf (cet 1). Jakarta: Robbani Press, 2001.

Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi “ Pengemabangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabi Oleh Al-Jili”. Jakarta: Paramadina, 1997.



[1]  Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf Irfan Dan Kebatinan, ( Jakarta: P.T. Lentera Basritama, 2004), hal.  198
[2] Syekh Abdur Rahman Abdul Khaliq, Penyimpangan-Penyimpangan Tasawuf (cet 1). ( Jakarta: Robbani Press, 2001). Hal. 133
[4] Dr. Ibrahim Hilal, Tasawuf Antar Agama dan Filsafat , (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), hlm. 134-140.
[5] Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf Irfan & Kebatinan, (Jakarta : PT.Lentera Basritama, 2004) hal 192
[6] Prof. Dr. Nur Syam M. Si, Tasawuf Kultural: fenomena shalawat wahidiyah, (Yogjakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara, 2008) hal. 49


MENCIPTAKAN KELAS KONDUSIF DENGAN ANAK YANG HIPERAKTIF

Nurul Azizah nama saya, saya seorang guru yang mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam kelas 1 di sebuah sekolah dasar swasta di Kota...